Berdakwah Dengan Perkataan Yang Baik
(Surah Fushilat Ayat 33-35)
A.
Surat Fushilat
ayat 33-35
وَ مَنْ اَ حْسَنُ قَوْلاًمِّمَّنْ دَ عَآ إِ لَى أ لَاللهِ وَعَمِلَ صَلِحًا وَ قَا لَ إِ نَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِىْنَ
وَ لاَ تَسْتَوِ ى الْحَسَنَتُ وَلاَ السَّىِّئَةُ اُ دْ فَعْ بِا لَّتِى هِىَ اَ حْسَنُ فَإِ ذَا الّذِ ى بَىْنَكَ وَ بَىْنَهُ عَدَا وَةٌ كَأَ نَّهُ وَ لِىُّ حَمِىْمٌ
وَ مَا ىُلَقَّهَآ إِ لاَّ اَ لَّذِ ىْنَ صَبَرُ واْ وَ مَا ىُلَقَّهَآ إَ لاَّ ذُ وْ حَظٍّ عَظِىْمٍ
Artinya :
33) Dan siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan
dan berkata “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri).
34)
Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan
dia akan seperti teman yang setia.
35) Dan (sifat-sifat yang baik itu)
tidak akan dianugrahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan
yang besar.[1]
Surat Fushilat terdiri dari 54 ayat
termasuk golongan surat Makkiyah, diturunkan sesudah surat Al Mu’min. Dinamai
Fushshilat (Yang dijelaskan) karena ada hubungannya dengan perkataan “Fushshilat”
yang terdapat pada permulaan surat ini, yang berarti “yang dijelaskan”.
Maksudnya ayat-ayat ini diperinci dengan jelas tentang hukum-hukum, keimanan,
janji dan ancaman, budi pekerti, kisah dan sebagainya. Dinamai juga dengan”Haa
Miim As Sajdjah” karena surat ini di mulai dengan “Haa Miin” dan dalam surat
ini terdapat ayat sajdah.[2]
B.
Penafsiran
Kata-Kata Sulit[3]
دَ عَآ إِ لَى أ لَاللهِ : Menyeru Kepada Allah. Maksudnya menyeru, agar mengesakan Allah.
الْمُسْلِمِىْنَ : orang-orang yang tunduk
الْحَسَنَتُ : hal-hal yang diridhai dan diterima Allah SWT.
السَّىِّئَةُ : Hal-hal yang dibenci
Allah dan dihukum bila dikerjakan
اُ دْ فَعْ :
Tolaklah
حَمِىْمٌ : Kawan
مَا ىُلَقَّهَآ : Tidak menerima dan tidak menanggung nasehat ini.
حَظٍّ : Bagian yang banyak dari kebaikan
Kosakata[4] :
Hamim حَمِىْمٌ (Fussilat/41:34)
Kata dasarnya adalah (ha’mim-mim) yang artinya air yang sangat
panas. Hammam berarti tempat mandi air hangat. Hammim diartikan
juga dengan teman dekat. Kaitannya dengan arti dasar dari kata ini adalah bahwa
teman dekat akan merasa tersengat jika ada yang mengganggu teman yang
dikasihinya. Dia akan berusaha membelanya dengan sepenuh hati.
C.
Kandungan Ayat[5]
1.
Ada tiga sifat
orang yang menjadikan seseorang menjadi orang baik: 1. Menyeru orang lain untuk
mentaati Allah; 2. Beramal amalan saleh, dan 3. Mengucapkan bahwa ia seorang
muslim yang tunduk kepada Tuhan. Menyeru orang lain untuk taat kepada Allah
masuk pekerjaan amal makruf nahi munkar. Setiap muslim harus melakukannya
menurut kadar kekuatannya.
2.
Perbuatan buruk
orang lain, hendaklah diladeni dengan cara yang baik dan bijaksana. Kejahatan
orang lain yang diladeni dengan cara bijaksana , sering menjadikan orang itu sadar,
kembali ke jalan yang benar dan akhirnya menjadi sahabat akrab. Jangan lekas
emosi dan bertindak sembrono. Sifat demikian ialah suatu sifat yang terpuji dan
tanda jiwa besar.
D.
Munasabah
dengan ayat sebelumnya
Setelah ayat yang lalu
memuji kaum beriman yg konsisten dan menyampaikan janji Allah tentang dukungan
malaikat kepada mereka, ayat diatas melanjutkan pujian, tetapi kali ini bagi
mereka yang beriman lagi berupaya membimbing pihak lain agar
menjadi manusia-manusia muslim yg taat dan patuh kepada Allah. Ia juga melukiskan sikap kaum beriman yang benar-benar bertolak
belakang dengan para pendurhaka yang melakukan aneka kegiatan untuk menghalangi
orang lain mendengar tuntunan Al-qur'an (ayat 26). dengan demikian ayat diatas
bukanlah lanjutan dari ucapan malaikat[6].
pada ayat-ayat berikut ini, Allah menerangkan perbuatan orang-orang yang paling
baik di sisi-Nya, dan menyuruh agar orang-orang mukmin menghadapi sikap
orang-orang musyrik itu dengan sikap yang baik yang dapat melunakkan hati[7].
E.
Tafsiran Ayat
1.
Surat Fushilat ayat 33

Artinya: Dan
siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah
dan mengerjakan kebajikan dan berkata “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim
(yang berserah diri).
Ayat ini mencela orang-orang yang mengatakan
yang bukan-bukan tentang Al-Qur’an. Al-Qur’an mempertanyakan: perkataan manakah
yang lebih baik daripada Al-Qur’an, siapakah yang lebih baik perkataannya dari
orang yang menyeru manusia agar taat kepada Allah.
Ibnu sirin, as-Suddi, Ibnu Zaid dan al-Hasan
berpendapat bahwa orang yang paling baik perkataannya itu ialah Rasulullah SAW.
Al-Hasan apabila membaca ayat ini maka ia berkata:
Inilah Rasulullah; inilah habibullah; inilah waliyullah; inilah sawfatullah;
inilah khairotullah; inilah, demi Allah penduduk bumi yang paling di cintai Allah. Dia memenuhi seruan Allah dan menyeru manusia agar
memenuhi seruan Allah. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ayat ini maksudnya
umum, yang semua orang yang menyeru untuk menaati Allah. Rasulullah, termasuk
orang yang paling baik perkataannya, karena beliau menyeru manusia kepada agama
Allah.[8]
Sedangkan, dalam tafsir Ibnu Katsier berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
ayat ini adalah para juru azan.[9]
Dan dalam tafsir Al-Misbah, lafadz دَ عَآ إِ لَى أ لَاللهِ / yang menyeru
kepada Allah mengandung
banyak macam dan peringkat. Peringkat pertama dan utama tentunya diduduki oleh
Rasul SAW, yang memang digelar oleh Allah sebagai da’iyan ila Allah, disusul
oleh para ulama dan cendikiawan yang tulus dan mengamalkan ilmunya dan yang
terjun ke masyarakat membimbing mereka. Semakin luas lapangan bimbingan semakin
tinggi pula peringkat da’I, demikian juga sebaliknya, sampai sementara
ulama menyebut pengumandang adzan pun termasuk dalam pengertian kata ini walau
yang diajaknya hanya seorang.[10]
Dalam Tafsir Maraghi dijelaskan bahwa, tidak
ada seorang pun yang lebih baik perkataannya daripada orang yang memiliki tiga
sifat berikut ini[11]:
a.
Menyeru manusia agar mengesakan dan mematuhi
Allah
Ibnu Sirin as-suddi, ibnu zaid, dan Al-hasan
berkata: orang yang menyeru ialah Rasulullah SAW.
b.
Amal saleh, yaitu dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan dan
menghindari hal-hal yang diharamkan
c. Mengambil
Islam sebagai agamanya dan ikhlas kepada Tuhannya, yakni, seperti kata orang;
ini adalah Qaul si fulan, yang artinya madzhab dan keyakinan dia.
Dengan menerangkan perkataan yang paling baik itu, seakan-akan
Allah menegaskan kepada Rasulullah bahwa tugas yang diberikan kepada beliau itu
adalah tugas yang paling mulia. Oleh karena itu, beliau diminta untuk tetap
melaksanakan dakwah, dan sabar dalam menghadapi kesukaran-kesukaran dan
rintangan-rintangan yang dilakukan orang-orang kafir.
Dari ayat ini dipahami bahwa sesuatu yang paling utama dikerjakan
oleh seorang muslim ialah memperbaiki diri lebih dahulu, dengan memperkuat iman
di dada, menaati segala perintah Allah, dan menghentikan segala larangan-Nya.
Setelah diri diperbaiki, serulah orang lain mengikuti agama Allah. Orang yang
bersih jiwanya, kuat imannya, dan selalu mengerjakan amal yang saleh, ajakannya
lebih diperhatikan orang, karena ia menyeru orang lain dengan keyakinan yang
kuat dan dengan suara yang mantap, tidak ragu-ragu.
2.
Surat Fushilat
ayat 34

Artinya
: Dan tidaklah sama kebaikan
dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,
sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman
yang setia.
Ayat ini menjelaskan bahwa kebaikan yang diridhai Allah dan diberi
pahala itu tidak sama dengan keburukan yang dibenci-Nya dan orang yang
melakukannya pasti diazab. Di dalam tafsir Al-Qur’an dan tafsirnya ayat ini
dapat ditafsirkan dengan pernyataan bahwa tidak sama dakwah orang yang menyeru
kepada Allah dan mengikuti islam, dengan perbuatan mencela orang-orang yang
melaksanakan dakwah itu.
Sikap orang kafir yang mencela para da’I diterangkan dalam firman
Allah:
قُلُوْ بَنَا فِيْ اَ كِنَّةٍ مِّمَا تَدْ عُوْ
نَآ اِ لَىْهِ
Hati kami sudah tertutup dari apa yang engkau
seru kami kepadanya…(Fusslilat/41:5)
Dengan ayat ini seakan-akan Allah menyatakan
kepada Rasulullah SAW bahwa jika ia mengerjakan kebaikan, maka akan memperoleh
ganjaran kebaikan berupa penghargaan selama hidup di dunia dan pahala yang
besar di akhirat nanti. Sedang orang-orang kafir yang mengerjakan kejahatan
dengan kejahatan tentu mereka akan memperoleh kerugian yang berlipat ganda.
Oleh karena itu, Rasulullah diperintahkan untuk membalas kejahatan mereka
dengan kebaikan. Kemudian Allah menerangkan cara membalas kejahatan orang-orang
kafir itu dengan kebaikan dengan memerintahkan Rasulullah agar membalas
kebodohan dan kejahatan orang-orang kafir dengan cara yang paling baik,
membalas perbuatan buruk mereka dengan perbuatan baik, memaafkan kesalahan
mereka, dan menghadapi kemarahan mereka dengan kesabaran[12].
Pendapat ini, hampir sama dengan Tafsir Ibnu
Katsier[13],
firman Allah “Dan tidaklah sama kebaikan & kejahatan” yaitu terdapat
perbedaan yang amat besar antara kebaikan dan kejahatan. “Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik” yaitu jika ada orang yang
berlaku buruk kepadamu, maka tolaklah dengan cara yang lebih baik. Maksudnya,
hadapilah tindakan mereka yang buruk dengan berbuat baik kepada mereka,
hadapilah dosa dengan member maaf, marah dengan bersabar dan mendiamkan
kekeliruan-kekeliruan serta menanggung hal-hal yang tidak disukai.[14]
Firman Allah”Maka tiba-tiba yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang baik.” yakni, jika engkau berbuat baik
kepada orang yang berbuat jahat kepadamu, niscaya kebaikan itu akan
mengarahkannya untuk bersikap tulus kepadamu, mencintaimu dan merindukanmu,
sehingga seakan-akan dia menjadi teman setia dalam arti mendekatinya dengan
rasa kasih saying dan berbuat baik.
Muqatil berkata: Ayat ini turun mengenai
Abu Sufyan bin Harm. Dulunya, ia memusuhi Nabi SAW, namun kemudian menjadi
pendukungnya dalam islam dan sahabatnya yang setia dengan cara berbesan, karena
sikap nabi yang tidak berdendam, tidak melepaskan sakit hati.[15]
Inilah suatu contoh yang ditinggalkan
Rasulullah SAW bahwasannya orang kerap kali memusuhi islam, membenci dan
menghalanginya, sebagaimana dilakukan oleh Abu Sufyan tersebut. Tetapi karena
cara Nabi SAW menghadapinya bukan dengan kebencian, bukan memperbanyak musuh, melainkan
memperbanyak kawan, akhirnya Abu Sufyan takluk.[16]
Prinsip ini terbukti kebenarannya dalam
realita. Kobaran nafsu berubah menjadi kelembutan, kemarahan menjadi
kentemtraman, dan kekerasan menjadi rasa malu. Hal itu karena da’i yang
berpegang kepada kalimat yang baik, cara yang tenang, dan karakter yang lembut
dalam menghadapi kobaran kemarahan dan kebinalan. Kalaulah perbuatan mereka
dibalas dengan pekerjaan yang sama, niscaya kemarahannya semakin berkobar,
semakin kereas, binal, menolak dan akhirnya hilang rasa malu dari dirinya,
lepas kendali, dan merasa bangga berbuat dosa.
Namun, toleransi tersebut memerlukan jiwa
besar, terutama tatkala dia mampu berbuat buruk dan membalasnya. Kemampuan ini
sangat penting bagi adanya dampak toleransi sehingga kebaikan terhadap pelaku
keburukan tidak dianggap sebagai kelemahan. Jika dia meresa lemah, maka
toleransinya tidak bernilai dan tidak memiliki dampak kebaikan sedikitpun.
Toleransi ini pun terbatas pada kondisi
keburukan pribadi, bukan permusuhan terhadap akidah dan fitnah di antara kaum
mukminin. Jika yang terjadi permusuhan dan fitnah, dia perlu melawannya dengan
segala cara atau dia bersabar hingga Allah memutuskan perkaranya. Inilah suatu
peringkat, yaitu peringkat pembalasan keburukan dan kebaikan. Toleransi
terhadap dorongan kemarahan dan kedengkian serta sikap proporsional dalam
menetapkan kapan dia harus toleran dan kapan membalas dengan kebaikan.
Merupakan derajat agung yang tidak dapat dilakukan oleh semua manusia.
Peringkat ini memerlukan kesabaran. Perangkat itupun merupakan perolehan yang
dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya yang berusaha, sehingga mereka berhak
menerimanya.[17]
3.
Tafsir Ayat 35
وَ مَا ىُلَقَّهَآ إِ لاَّ اَ لَّذِ
ىْنَ صَبَرُ واْ وَ مَا ىُلَقَّهَآ إَ لاَّ ذُ وْ حَظٍّ عَظِىْمٍ
Artinya: Dan
(sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugrahkan kecuali kepada orang-orang
yang mempunyai keberuntungan yang besar.
Pada ayat ini, Allah
menerangkan cara yang paling baik menghadapi orang-orang kafir, yaitu orang
yang sabar ketika menderita kesulitan dan kesengsaraan, dapat menahan marah,
tidak pendendam, dan suka memaafkan. Anas r.a dalam menafsirkan ayat ini ialah
apabila seseorang dimaki oleh orang lain, ia berkata, “Jika engkau memaki
dengan alasan yang benar, mudah-mudahan Allah akan mengampuni dosamu. Jika
engkau memakiku dengan alasan yang tidak benar, mudah-mudahan Allah mengampuni
dosa-dosaku.”
Ayat ini merupakan
nasihat agar berlaku sabar, menahan amarah, dan suka memaafkan kesalahan orang
lain itu adalah suatu nasihat yang paling utama dan tinggi nilainya. Yang dapat
menerima nasihat itu hanyalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh, yang
akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti.[18]
Qatadah mengatakan bahwa
arti dari “keuntungan yang besar” ialah surga. Maksud ayat ini ialah
tidak ada yang menerima nasehat seperti ini kecuali orang yang pasti masuk
surga.[19]
Dalam Tafsir Ibnu
katsir, di jelaskan bahwa “sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar” tidak ada uang dapat menerima dan
mengamalkan wasiat ini kecuali orang-orang yang sabar atas hal itu, karena ini
amat berat bagi jiwa. “Dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang
yang mempunyai keberuntungan yang besar.” Yaitu, orang yang mendapatkan
bagian terbesar berupa kebahagiaan di dunia dan dan akhirat. Ali bin abi
thalhah berkata, dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini: “Allah
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk sabar ketika marah, lapang dada
ketika diperlakukan tidak baik, dan memaafkan ketika disalahkan. Jika mereka
melakukan itu, niscaya Allah memelihara mereka dengan syaitan serta menundukkan
musuh-musuh mereka seakan-akan menjadi teman setia[20].
Dalam tafsir Al-Azhar,
orang yang mempunyai jiwa besar ialah orang yang insaf bahwa dia berjuang bukan
untuk dirinya, melainkan untuk kepentingan agama Tuhannya. Perangai dan akhlak
Nabi yang demikian tinggi diteladani jiga oleh sahabatnya Ali bin Abu Thalib.
Pada suatu hari dia berkelahi dengan orang Yahudi, berperang dan
berhadap-hadapan satu sama satu. Karena hebatnya perkelahian, kuat sama kuat,
akhirnya terbentanglah Yahudi itu jatuh dan dengan secepatnya Sayyidina Ali
telah duduk di atas perut lawannya dan mengunci kedua belah tangannya sehingga
tidak dapat bergerak lagi hendak mempertahankan dirinya. Tiba-tiba karena akal
lain tidak ada lagi, dan sangat murka dan gemasnya, orang yahudi telah meludahi
wajah Sayyidina Ali.
Setelah mukanya diludahi
dan basah karena air ludah, sayyidina Ali terdiam, lalu tidak berapa lama
kemudian, dia pun tegak. Diambilnya serbannya, dihapusnya mukanya dan musuhnya
dibiarkan berdiri. Dengan keheranan musuhnya, si Yahudi bertanya “Mengapa tidak
engkau bunuh aku? Padahal kesempatan yang sebaik-baiknya? Dan aku meludah
engkau karena tidak berdaya lagi?”
Sayyidina Ali menjawab
“Saya berkelahi dengan engkau tadi, karena mempertahankan Agama Allah. Saya
akan bunuh engkau selama engkau menentang Tuhan. Tetapi setelah engkau meludahi
mukaku, soalnya bukan lagi mempertahankan agama Allah. Dia telah berganti
dengan soal pribadi. Aku sangat murka kepada engkau karena meludahiku. Maka
kalau aku bunuh engkau karena kemungkaran berkenaan dengan urusan diri sendiri,
tidaklah berarti lagi perjuanganku. Karena tidak lagi karena mempertahankan
Agama Allah, melainkan karena mempertahankan harga diri.”
Sikap yang seperti ini
pun adalah sikap seorang yang berjiwa besar. Seakan-akan beliau berkata “Aku
sendiri boleh engkau maki-maki, aku tidak akan marah. Tetapi kalau Agama Allah
yang engkau singgung, engkau akan mendapat bagianmu yang setimpal[21]”.
Ini merupakan yang tinggi hingga mencapai batas seperti tampak pada diri
Rasulullah di mana beliau tidak pernah marah untuk membela dirinya sendiri.
Apabila beliau marah karena Allah, tiada seorangpun yang dapat meredakannya[22].
F.
Munasabah
dengan Surah Fushilat ayat 36
وَ اِمَّا
ىَنْزَ غَنَّكَ مِنَ الشَّىْطَنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ شُوَالسَّمِىْعُ
اْلعَلِيْمُ
Artinya: Dan
jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Setelah
ayat-ayat yang lalu menjelaskan bagaimana cara yang harus ditempuh guna
memperoleh kebajikan, antara lain dengan menampik kejahatan dengan kebajikam.
Serta setelah menjelaskan pula dampak positifnya antara lain beralihnya
permusuhan menjadi persahabatan yang kental, kini ayat diatas member peringatan
tentang hambatan yang mungkin dialami guna memperolehnya serta cara mengatasi
hambatan itu. ayat di atas bagaikan menyatakan: jika engkau berhasil menghadapi
kejahatan dengan kebaikan, maka sungguh itulah yang diharapkan, dan wahai Nabi
Muhammad atau siapa pun engkau, jika setan menggodamu dengan suatu godaan,
yakni mendorongmu untuk melakukan suatu aktivitas tidak terpuji, misalnya
mendorongmu untuk membalas dendam terhadap yang melukai hatimu, maka
mohonlah perlindungan kepada Allah. Jangan beri setan kesempatan mengulangi
upayanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar termasuk mendengar
permohonanmu lagi Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh
siapapun termasuk setan[23].
G.
Hubungan Surat
Fushilat Ayat 33-35 dengan Dakwah
Dan
siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah
dan mengerjakan kebajikan dan berkata “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim
(yang berserah diri) Fushilat (41):33
Ayat ini memiliki hubungan yang erat dengan dakwah, di dalam ayat
di jelaskan “Siapa yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah” ada beberapa peringkat yang termasuk dalam kategori ini, dan Da’i
juga termasuk dalam kategori ini, karena Da’i juga dituntut untuk memperbaiki
diri lebih dahulu, dengan memperkuat iman di dada, menaati segala perintah
Allah dan menjauhi larangannya. Setelah diri diperbaiki, serulah orang lain
mengikuti agama Allah, orang yang bersih jiwa, kuat iman dan mengerjakan amal
yang saleh, ajakannya lebih diperhatikan karena ia menyeru orang lain dengan
keyakinan yang kuat dan dengan suara mantap, tidak ragu-ragu.
Dakwah
ditujukan kepada seluruh manusia dalam keadaan umurnya yang berbeda-beda, serta
tingkat kedudukannya di masyarakat, di samping kecerdasan dan alam
lingkungannya, kemauan serta jalan pikirannya, kesemuanya berlainan. Hal ini
menyebabkan para da’i harus menjadi orang-orang yang bijaksana , mahir dalam
menyampaikan ceramah, pendapat dan pengertiannya kepada mad’unya. Berikut
beberapa syarat, agar da’i tidak tergelincir dalam berbicara[24]:
1.
Memilih
kata-kata yang baik saja
Ucapan-ucapan yang baik
dapat menyuburkan kasih sayang sesama manusia, mengeratkan persahabatan dan
mencegah tipu daya syaitan yang berusaha merapuhkan tali perhubungan dan
menimbulkan persengketaan. Oleh karena itu, dalam pergaulan sehari-hari
hendaknya kita membiasakan ucapan-ucapan yang baik, terlebih bagi seorang da’i,
karena ucapan yang baik akan menghasilkan kebajikan.
2.
Meletakkan
pembicaraan tepat pada tempatnya dan sengaja mencari kesempatan yang benar
Pembicaraan yang tidak
mengandung manfaat adalah pembicaraan yang terbengkalai dan tertinggal (tak
digubris). Jika pembicaraan yang seharusnya diakhirkan, adalah suatu kelambatan
dan kelemahan. Sebab tiap tempat ada pembicaraannya masing-masing dan setiap
zaman juga mempunyai amalannya masing-masing.
3.
Berbicara
dengan pembicaraan sekedar keperluan
Lisan seseorang yang
pembicaraannya kaku, kurang gairah, dan tidak terarah menunjukkan bahwa
hatinyapun seperti itu. lisan dapat menunjukkan bahwa hatinya pun seperti itu.
lisan dapat menunjukkan suasana hati, sebaliknya lisan yang fasih, tegar dan
penih percaya diri merupakan gambaran kondisi hati seseorang yang tenang dan
bersemangat.
Dalam surat Fushilat ayat 34, Allah menerangkan cara membalas
kejahatan orang-orang kafir itu dengan kebaikan dengan memerintahkan kepada
Rasulullah agar membalas kebodohan dan kejahatan orang-orang kafir dengan cara
yang paling baik, membalas perbuatan buruk mereka dengan perbuatan baik,
memaafkan kesalahan mereka, dan menghadapi kemarahan mereka dengan kesabaran.
Sifat ini, juga dimiliki seorang da’i. Pada dasarnya, Dakwah yang dilakukan
seorang pendakwah tidaklah semulus orang kira, banyak rintangan dan tantangan
yang harus mereka lewati, dan hal ini membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi.
Selain itu, ada banyak mad’u yang menolak dakwah para da’i, namun ini semua
bukan halangan bagi mereka dalam menegakkan Agama Allah. Berikut, pentingnya
sifat sabar dalam berdakwah[25]:
1.
Sabar merupakan
salah satu rukun akhlak terpuji yang diperlukan oleh setiap muslim umumnya dan
para da’i khususnya
2.
Sabar dalam
berdakwah merupakan unsur yang sangat penting. Oleh sebab itu, Allah telah
menyebutkan kata sabar dalam Al-Qur’an sebanyak Sembilan puluh kali,
sebagaimana yang telah dikatakan Imam Ahmad
3.
Sabar dalam
berdakwah adalah nilai-nilai taqarrub kepada Allah yang paling besar, dan
termasuk anugerah Allah yang paling mulia kepada manusia
4.
Sabar dalam
dakwah merupakan sikap para Nabi dan rasul a.s secara keseluruhan. Berdakwah
pada kesabaranlah, dakwah mereka Berjaya
5.
Sabar dapat
menjadikan dai bisa mengatasi musuh-musuhnya. Dengan sabar, ia dapat
mengalahkan orang kafir, orang munafik, orang yang membangkang, dan orang islam
yang berbuat zalim,
[1] Kementrian Agama RI. Bukhara (Al-Qur’an Tajwid & Terjemah).
Bandung: Sygma. 2007, hlm:480
[2] Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Terjemahan
(Djuz 21-Djuz 30). Jakarta: Jamunu. 1969, hlm: 772
[3] Ahmad Mustofa Al-Maragi. Tafsir Al-Maragi. Semarang: Cv.
Toha Putra. 1992. Hlm: 240-241
[4] Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Juz 22-24 Jilid
8). Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
hlm: 619
[5] Eomar, Bakry. Tafsir Rahmat.
[6] M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah(Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an Vol. 12). Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm, 412
[7] Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Juz 22-24 Jilid
8). Jakarta: Widya Cahaya, hlm: 620
[8] Ibid
[9] Salim, Babreisy dan Said, Bahreisy. Terjemahan Tafsir Ibnu
Katsier Jilid 7. Surabaya: Bina Ilmu, 2003. Hlm, 161
[10]M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an Vol. 12). Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm, 413
[11] Ahmad, Mustofa. Tafsir Al-Maraghi juz xxiv. Semarang: Cv.
Toha Putra. 1992, hlm:242
[12] Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Juz 22-24 Jilid
8). Jakarta: Widya Cahaya, hlm: 621
[13] Salim Babreisy dan Said, Bahreisy. Terjemahan Tafsir Ibnu
Katsier Jilid 7. Surabaya: Bina Ilmu, 2003. Hlm, 161
[14] Ahmad, Mustofa. Tafsir Al-Maraghi juz xxiv. Semarang: Cv.
Toha Putra. 1992, hlm:243
[15] Ibid, hlm 245
[16] Hamka. Tafsir Al-Azhar (Juzu 24-27). Jakarta: Pustaka
Panjimas. 1982, Hlm, 241
[17] Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilailil Qur’an (Di bawah Naungan
Al-Qur’an) Jilid 10. Jakarta: Widya Cahaya, hlm: 163-164
[18] Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Juz 22-24 Jilid
8). Jakarta: Widya Cahaya, hlm: 622
[19] Ahmad, Mustofa. Tafsir Al-Maraghi juz xxiv. Semarang: Cv.
Toha Putra. 1992, hlm:246
[20] Abdullah, bin Muhammad. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5. Jakarta:
Pustaka Imam Syafi’i. 2010, hlm: 462
[21] Hamka. Tafsir Al-Azhar (Juzu 24-27). Jakarta: Pustaka
Panjimas. 1982, Hlm, 242
[22] Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilailil Qur’an (Di bawah Naungan
Al-Qur’an) Jilid 10. Jakarta: Widya Cahaya, hlm: 164
[23] M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an Vol. 12). Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm, 416
[24] Munzier, Suparta. Metode Dakwah. Jakarta: Rahmah Semesta,
2003. Hlm:114-117
[25] Said Al-Qathani. Menjadi Dai Yang Sukses. Jakarta: Qisthi
Press. 2005, hlm 176-177
izin copas ya Kak
BalasHapus