Langsung ke konten utama

Metode Dakwah Mujadalah

Hai Sobat Sinta!!!
Kali ini, saya mau posting salah satu metode dakwah yang digunakan para da’i. Mungkin, yang masih awam soal dakwah pasti mereka bakal tanya “Dakwah? Bukannya metodenya Cuma ceramah ya??” anda, tidak 100% benar sobat. Ceramah memanglah salah satu metode dakwah, tetapi tidak hanya metode ceramah saja yang di gunakan para Da’i. Masih ada, metode bil-lisan, metode dakwah dengan tindakan, metode bil-hikmah, metode mau’idhotul hasanah, metode mujadalah dan lain sebagainya. Nah, kali ini saya akan menjelaskan sedikit soal metode Mujadalah. Berikut penjelasan saya:
      A.    Pengertian Metode Al-Mujadalah
Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah berasal dari kata “Jadala” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan Alif pada huruf jim yang mengikuti wazan Faaala, “jaa dala” dapat bermakna berdebat, dan “Mujadalah” perdebatan.[1]
Kata “Jaadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk menyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.[2]
Menurut Ali al-Jarisyah, dalam kitabnya Adab al-Hiwar wa-almunadzarah, mengartikan bahwa “al-jidal” secara bahasa dapat bermakna pula “datang untuk memilih kebenaran” dan apabila berbentuk isim “al-Jadlu” maka berarti pertentangan atau perseteruan yang tajam. Al-Jarisyah menambahkan bahwa, lafadz musytaqdarilafazh al-Qatlu” yang berarti sama-sama terjadi pertentangan, seperti halnya terjadinya perseteruan antara dua orang yang saling bertentangan sehingga saling melawan/menyerang dan salah satu menjadi kalah.[3]
Dari segi istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian al-Mujadalah (al-Hiwar). Al-Mujadalah (al-Hiwar) berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya susunan yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah, suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.[4]
Menurut tafsir an-Nasafi, kata ini mengandung arti:
Berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan sesuatu (perkataan) yang bisa menyadarkan hati membangunkan jiwa dan memerangi akal pikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.[5]
Mahmudah membagi al Jidal/al-Mujaadalah menjadi dua bagian, yaitu Al-Khiwar dan As Ilah wa Ajwibah. Dari pembagian segi bahasa tersebut terlihat, bahwa terdapat perbedaan pendapat antara al-Hiwar (Dialog) dan as-ilah wa ajwibah (tanya jawab). Al-Hiwar (dialog) dikemas dalam bentuk dua orang berbicara dalam tingkat kesetaraan. Tidak ada dominasi yang satu dengan yang lainnya. Dalam kerangka ini, metode ini dapat digunakan apabila antara da’I dan mad’u berada pada tingkat kecerdasan yang sama. Sedangkan as-ilah wa ajwibah (tanya jawab) dikemas dalam bentuk dua orang berbicara dalam tingkat yang berbeda. Salah satu sisi bertanya dan salah satu sisi menjawab.[6]
B.     Macam-macam Al-Mujadalah
1.      Al-Hiwar (Dialog)
Redaksi al-Mujadalah Allah menyebutkan sebanyak 16 kali di dalam Al-Quran. Akan tetapi, redaksi Al-Qur’an yang mempergunakan lafadz al-Mujadalah tidaklah menunjukkan al-hiwar/dialog. Ayat-ayat yang mempergunakan redaksi al-mujaadalah, secara keseluruhan menunjukkan dalam kontek pembicaraan yang tidak menghendaki munculnya debat (membantah/bantahan).[7]
Ini berarti menunjukkan adanya perbedaan antara “debat dan dialog”. Biasanya dalam perdebatan terjadi perseteruan, meski hanya sebatas perseteruan lisan. Perdebatan senantiasa bermuara pada permusuhan yang diwarnai oleh fanatisme terhadap pendapatnya masing-masing pihak dengan merendahkan pihak lain. Sedangkan dialog yang dalam redaksi al-Quran menggunakan lafadz “al-Hiwar” dan disebutkan sebanyak 7 kali dalam al-Qur’an juga tidak mengisyaratkan dialog yang diharapkan dalam pendekatan sebuah metode dakwah.[8]
Dalam hal ini al-Quran menyikapinya ternyata bukan mempergunakan redaksi al-Mujadalah/ al-Hiwar akan tetapi memakai lafadz “Qaala” (dia telah berkata), “Yaquulu” (dia sedang/ akan berkata), “Qul” (katakanlah), “Qaalu” (mereka telah berkata), “yaquuluna” (mereka sedang/akan berkata) dan “Quuluu” (katakanlah oleh kamu semua) diturunkan dari kata dasar “al-Qawl” yang berarti pendapat, karena dalam dialog tersebut kedua pihak saling mengemukakan pendapatnya, dan hal ini telah diungkapkan oleh al-Quran secara berulang-ulang lebih dari 1700[9]. Firman Allah SWT. surat An-Nahl 16:125 :
اُدْعُ اِلَي سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِالْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْه هِيَ اَحْسَنُ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Artinya :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dengan melihat kejelasan di atas, apa yang tercantum dalam lafadz “Al-Mujadalah” dalam Qs. An-Nahl 125, sebagai bagian metode dakwah yang disampaikan oleh Allah dan disepakati oleh para ulama dan mufassir bukanlah menunjukkan mujadalah yang dalam arti yang sebenarnya, akan tetapi dalam konteks al-Hiwar. Bahkan begitu besarnya perhatian Allah SWT terhadap bantahan/dialog ini Allah SWT paparkan dialog dengan ahli kitab, dialog dengan orang munafik, dialog orang baik dan orang jahat, dialog sesama orang jahat dan dialog dengan orang-orang shalih.[10]
Dalam pemahaman surat an-nahl ayat 125, Nabi SAW diperintahkan berdakwah kepada golongan Yahudi, kemudian mengajak mereka berdebat jika dakwah kurang diterima. Perdebatan senantiasa digunakan Al-Qur’an dalam menghadapi masyarakat ahli kitab. Al-Qur’an selalu mengutarakan kesalahan Ahli kitab serta kelemahan argumentasi mereka. Dalam perdebatan, pihak yang telah jelas kesalahannya dan lemah argumentasinya dapat dipastikan akan mengalami kekalahan. Selain itu, usaha para pemuka ahli kitab dalam mengubah ajaran agama mereka juga menampakkan kesalahan yang nyata. Ada sisi keunggulan ketika perdebatan digunakan untuk menghadapi ahli kitab. Pada saat pemuka ahli kitab mengalami kekalahan, para pengikutnya yang masih awam segera berpindah keyakinan usai melihat perdebatan. Bahkan tidak sedikit peserta debat mengakui kesalahannya dan kemudian masuk islam.[11]
Berdebat patut dijadikan sebagai metode dakwah. Namun, perlu diketahui bahwa debat (Mujadalah) yang dimaksud di sini adalah debat yang baik, adu argument dan tidak tegang (ngotot) sampai terjadi pertengkaran. Sebab salah satu ciri berdebat adalah mencari kemenangan dan bukan mencari kebenaran, sehingga tidak jarang terjadi bila berdebat mengakibatkan pertengkaran atau permusuhan.[12]
Debat sebagai metode dakwah pada dasarnya mencari kemenangan, dalam arti menunjukkan kebenaran dan kehebatan islam. Dengan kata lain debat adalah mempertahankan pendapat dan idiologinya agar pendapat dan idiologinya itu diakui kebenaran dan kehebatannya oleh musuh (orang lain). Keutamaan metode debat adalah terletak pada kemenangannya dalam mempertahankan benteng islam. Namun, metode debat sangat membahayakan bila mengalami kekalahan dalam perdebatannya.[13]
a)      Landasan dan Etika Berdialog
1)      Kejujuran
Dialog hendaklah dibangun di atas pondasi kejujuran, bertujuan mencapai kebenaran, menjauhi kebohongan, kebathilan dan pengaburan. Al-quran menyebutkan berbagai macam dialog yang terjadi antara Rasul dan kaumnya, dan antara orang-orang yang berbuat kerusakan.[14]
2)      thematik dan objektif
tematik dan objektif dalam menyikapi permasalahan, artinya tidak keluar dari tema utama sebuah dialog supaya arah pembicaraan jelas dan mencapai sasaran yang diinginkan.[15]
3)      argumentatif dan logis
dialog bertujuan akhir agar lawan menyadari dan mengikuti apa yang kita inginkan. Maka sangatlah nisbi apabila di dalam menyuguhkan bantahan atau alasan tidak masuk akal. Oleh sebab itu, jawaban yang argumentative dan logislah yang mampu membawa lawan untuk menerimanya.[16]
4)      Bertujuan untuk mencapai
Setiap individu atau kelompok harus mencapai satu tujuan yaitu menampakkan dan menjelaskan kebenaran masalah yang dipersilisihkan, meskipun kebenaran itu datang dari pihak lawan.[17]
5)      Memberi kesempatan kepada pihak lawan
Memberikan kesempatan untuk memberikan alasan kepada pihak lawan tanpa mengurangi hak bicaranya dan menjelek-jelekkan kepribadiannya. Di samping itu memberikan kebebasan lawan untuk menanggapi ide-ide dan pikiran yang dituangkan adalah langkah terpuji yang harus dilaksanakan.[18]
b)      Metode Dalam Berdialog
Langkah-langkah dalam berdialog:
1)      Mempersiapkan Materi
Tujuan dakwah adalah untuk mengembangkan islam dan merubah perilaku manisia ke jalan yang baik demi kebahagiaan dunia dan akhirat dengan cara mendorong objek dakwah untuk menerima islam sebagai agama sekaligus pedoman dalam hidup dan kehidupan. Oleh sebab itu, dalam penggunaan metode mujadalah, hendaklah da’I mempersiapkan sedini mungkin dalam memahami materi sehingga dapat bertindak secara professional, ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan agar argument yang disampaikan dapat diterima oleh objek dakwah.[19]
2)      Mendengarkan pihak lawan dengan arif, bijak, dan seksama
Langkah ini diambil agar memberikan kesan yang pertama begitu menggoda, tidak menyinggung perasaan dan akhirnya da’I bukan hanya mengerti akan tetapi memahami terhadap apa yang disampaikan lawan bicara, sehingga langkah ini menentukan terhadap apa yang menjadi argument da’I berikutnya.[20]
3)      Menggunakan ilustrasi/kiasan/gambaran
Ilustrasi adalah sarana untuk mendekatkan lawan bicara agar lebih yakin terhadap argument yang kita sampaikan. Ilustrasi berguna untuk memperjelas setiap uraian pembicaraan.[21]
4)      Mematahkan pendapat/alasan dengan serang balik
Langkah ini diambil apabila lawan sudah melampaui batas akan tetapi tetap memperhatikan norma dan etika dalam berdialog.[22]
5)      Jangan marah
Seseorang diskusi/dialog kadang dihadapkan persoalan yang rumit di mana lawan bicara tidak mau menerima atau bahkan mencaci terhadap da’i. oleh karena itu, da’I tidak boleh terpancing untuk marah. Karena yang terjadi adalah kebuntuan dialog tersebut, dan ini berarti kebuntuan dakwah. Oleh sebab itu, da’I tetap pada konsentrasi, menyejukkan dan tidak boleh terpancing.[23]
Perlu diingat bahwa Al-Qur’an selalu membimbing umatnya kejalan yang baik dan benar agar umatnya berbahagia. Adapun kewajiban da’I hanya mengajak dan menuntun manusia kepada kebenaran agama islam. Akan tetapi apabila dengan metode atau cara-cara yang demikian masih juga belum berhasil, maka juru dakwah tidak diperkenankan putus asa.[24]
2.      As-Ilah Wa Ajwibah (Tanya Jawab)
Pada dasarnya As-Ilah Wa Ajwibah artinya tanya jawab. Yang merupakan salah satu metode dalam berdakwah yakni metode dialogis dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Kesan yang di timbulkan melalui metode tanya jawab ini lebih kuat bila dibandingkan hanya dengan berkomunikasi satu arah (One Way Communication).[25]
Pembahasan tentang metode dakwah ini menjadi begitu sangat penting sekali untuk diketahui dan dipelajari, terutama bagi para da’I, ketika berhadapan dengan mad’u yang berbeda latar belakang agama, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Untuk menghadapi mad’u yang beragam dan berbeda-beda ini, diperlukan persiapan da’I baik persiapan materi maupun persipan mental sehingga ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mad’u nya, penda’I siap untuk menjawabnya.[26]
a)      Ta’rif As-ilah wa Ajwibah
Lafadz As-ilah merupakan bentuk jama’ dari lafadz السؤال yang berarti pertanyaan-pertanyaan. Begitu pula dengan kata Ajwibah juga merupakan bentuk jama’ dari lafadz اجابة yang artinya adalah jawaban-jawaban.[27]
Maka, pengertian dari Mujadalah As-ilah wa Ajwibah adalah “perdebatan yang dilakukan oleh dua orang maupun sekelompok orang untuk berusaha memunculkan sesuatu yang paling bagus atau yang paling baik, dalam bentuk mengajukan pertanyaan dan jawaban yang merupakan argumennya masing-masing”.[28]
As-ilah wa Ajwibah dalam Al-Qur’an, pada dasarnya sebuah jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan, dengan bunyi kaidah:
الاصل فى الجواب ان يكون مطابقا السؤال
Artinya: “Asalnya suatu jawaban adalah harus sesuai dengan pertanyaan.”[29]
Namun, terkadang ia menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaanya. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang harus ditanyakan. Contoh: Al-Baqarah ayat 198. Mereka menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang bulan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian menyusut lagi terus-menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada berupa penjelasan mengenai hikmahnya, untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah hal tersebut, bukan yang mereka tanyakan itu.[30]
Terkadang, jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, karena hal itu yang di anggap perlu. Misalnya dalam QS. Al-An’am ayat 64 sebagai jawaban dari pertanyaan QS. Al-An’am ayat 63.[31]

Pertanyaan:
قُلْ مَنْ يُّنَجِّيْكُمْ مِنْ ظُلُمَتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُوْنَهُ تَضَرُّعًاوَّخُفْيَةً. لَئِنْ اَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّاكِرِيْنَ.
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, ketika kamu berdoa kepadanya dengan rendah hati dan dengan suara yang lembut?” (Dengan mengatakan), “Sekiranya Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur”.” (QS. Al-An’am: 63)[32]
Jawaban:
قُلِ اللهُ يُنَجِّيْكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ اَنْتُمْ تُشْرِكُوْنَ.
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Allah yang menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, namun kemudian kamu (kembali) mempersekutukan-Nya”.” (QS. Al-An’am: 64)[33]
Terkadang lebih sempit dari pertanyaan, karena keadaan menghendaki demikian. Misalnya, QS. Yunus ayat 15.
Artinya: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (QS. Yunus: 15)[34]
Hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah daripada menciptakan. Jika mengganti saja tidak mampu tentulah menciptakan lebih tidak mampu lagi.[35]
Di dalam as-Sunnah disebutkan tentang larangan terlalu banyak bertanya:
Artinya : “Wahai Muhammad! Sesungguhnya ummatmu senantiasa bertanya: Apa ini? Apa itu? Sampai-sampai mereka mengatakan : “Inilah Allah yang telah menciptakan makhluk, tapi siapakah yang menciptakan Allah sendiri?” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu ‘Awaanah yang bersumber dari Anas ra.)[36]
b)      As-Ilah wa Ajwibah Sebagai Metode Dakwah
Berdasarkan al-Qur’an surat An Nahl ayat 125
اُدْعُ اِلَي سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِالْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْه هِيَ اَحْسَنُ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat ini menjelaskan tentang metode dakwah, yakni dengan hikmah, pelajaran yang baik dan membantah dengan cara yang baik. Namun, pembahasan kali ini terfokus pada metode yang ketiga, yakni mujadalah. Jadilhum billati hiya ahsan dilakukan apabila terpaksa timbul perbantahan atau pertukaran pikiran, maka harus dengan cara yang baik sehingga orang yang dibantah itu tidak merasa sakit hati dan mau mengikuti jalan yang baik dan benar sesuai al Qur’an dan as Sunnah.[37]
Menurut  tafsir an-Nasafi, kata Jadilhum billati hiya ahsan bermakna: “Berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan pekataan yang lunak, lemah-lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan suatu (perkataan)yang bisa menyadarkan hati, membangujiwa dan menerangi akal pikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.”[38]
c)      Obyek As-Ilah wa Ajwibah
Adapun permasalahan-permasalahan yang dijadikan objek As-ilah Wa Ajwibah adalah sangat bervariatif. Diantaranya tentang hari kiamat, bulan, peperangan pada bulan haram, khamr dan judi, pembagian harta rampasan perang, ruh, masalah-masalah khusus kewanitaan, hukum waris, sedekah dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan urusan kehidupan dunia.[39]
Namun, dari semua permasalahan yang menjadi obyek As-ilah Wa Ajwibah tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut[40] :
   AKIDAH
 


Syari’ah                                                 Akhlak

    Muamalah             Ibadah                          Khaliq            Makhluk

     C.    Model Metode Mujadalah Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Di dalam perjalanan dakwah Rasulullah, Bagaimana Rasul Berdialog dengan orang-orang kafir Quraisy. Menjelang wafatnya paman Nabi SAW, Beliau di datangi serombongan musrykin Quraisy yang terdiri dari; Abu sufyan, abu jahl, al-Nadhr bin al-Harts, Umayyah bin khalf, Ubay bin khalaf uqbah bin Abu Muayyit, Amr bin Ash dan al aswad bin Bukturi. Kepada Abu Thalib mereka berkata hey Abu Thalib anda adalah pemimpin kami, Sementara  Muhammad selalu menyakiti kami dan tuahn tuhan kami. Kami mohon agar anda memanggilnya sehingga kita dapat melarangnya untuk tidak lagi menyebut-nyebut tuhan kita”.[41]
            Abu Thalib kemudian memanggil nabi Muhammad, kemudian berkata; ‘’Mereka itu kaum kamu dan anak anak paman kamu,’’ mau apa mereka? ‘’tanya Nabi’’ Secara serempak mereka menjawab, ‘’Kami menghendaki agar kamu tidak lagi mengajak kami untuk menyembah tuhanmu dan kamu tidak akan menyebut-nyebutnya lagi berhala-berhala tuhan kami. Kami juga tidak akan menghalagi kamu untuk menyembah tuhanmu.”[42]
            Abu Thalib menyela , “Kaum kamu itu telah melakukan kompromi dengan kamu itu telah melakukan  kompromi dengan kamu . Oleh karenanya terima sajalah usulan mereka itu,’’Tahukah kalian semua, apabila usulan saya itu terima, maukah kalian mengatakan satu kalimat yg dapat menjadikan kalian semua menguasai Bahasa Arab,Sementara bangsa-bangsa asing akan tunduk kepada kalian?’ “Mau…,” Abu jahal langsung berkata, “Demi Ayahmu, Kami mau mengatakan sepuluh kalimat itu”. Kalimat apakah  itu? (Abu jahal penasaran). Nabi SAW. Kemudian menjawab, “Katakanlah kalimat La Ilaaha Illallah (Tidak ada Tuhan selain  Allah).”[43]
            Mendengar jawaban nabi mereka terdiam tidak ada yg berbicara apa-apa. Akhirnya Abu Thalib berkata, “Hai kemenakanku. Katakan Kalimat selain itu saja, kerana kaum kamu itu sudah membenci kalimat itu.” Nabi Muhammad menjawab, “Hai pamanku, saya tidak akan mengatakan kalimat selain itu bahkan seandainya mereka menghadiahkan matahari untuk saya, maka saya tidak akan mengatakan kalimat selain itu.”[44]
            Mendengar jawaban Nabi ini mereka lalu mengatakan, “Bila demikian, sekarang tidak ada pilihan lain kecuali dua hal saja. Yaitu kamu menghentikan cercaanmu terhadap tuhan-tuhan kami, atau kami akan mencerca tuhan yg mengutusmu.” (demikian al-Wahidi Ali bin ahmad dalam kitabnya Asbab al-Nuzul, dan hal inilah yang menyebabkan turunnya QS. Al-An’am 108, dan hal ini di kutip Ali musthafaYa’qub).[45]
            Dengan melihat kejadian, ini merupakan kali pertama Rasulullah mendengarkan betul apa yang di sampaikan oleh lawan bicaranya walaupun Rasul sendiri mengetahui bahwa yang akan menjadi lawan bicaranya adalah orang-orang kafir Quraisy yang selama ini terkenal dengan tipu muslihatnya termasuk Abu jahal. Kedua, di saat Rasul diminta supaya berkomromi agar tidak menyerukan Tauhid (menyembah Allah), Ternyata Rasul Tidak langsung menjawab kalimat tersebut, malah menawarkan kepada lawan bicaranya, untuk menerima salah satu kalimat yang apabila kalimat tersebut di ucapakan maka dapat menaklukkan bangsa Arab, bahkan bangsa lain. Hal ini tidak di mengerti Abu Jahal CS, Sehingga Abu jahal langsung spontinitas mengatakan; jangankan satu kalimat sepuluh kalimat pun ia mau.” Akan tetapi, Ternyata Rasul dengan bantahan/jawaban yang mematahkan satu kalimat tersebut adalaj “La Ilaha illallah”, bahkan di minta oleh Abu Thalib supaya kalimat yang lain pun, Rasul tetap tidak akan berhenti dalam menegakkan  kalimat tauhid.”[46]
            Dengan ayat-ayat dan hadits tersebut di atas, Terlihat dengan jelas bahwa al Qur’an dan al-sunnah memberikan begitu besar perhatiaanya kepada diskusi dan metodenya dalam menghadapi serta menjelaskan terhadap lawan. Bagaimanapun bentuk lawan yang kita hadapi dengan bantahan yang baik akan tetapi di sisi lain kita membantahnya dengan bantahan yang tegas dan lugas demi mematahkan pendapat lawan. Oleh karena itu islam pun mengajarkan agar dalam mempergunakan dialog dapat terarah dan berhasil dengan baik.[47]




[1] Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta, Rajawali Pers, 2012), cet. 1, hlm 253.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2000), Cet. Ke-1, hlm, 553.
[3] Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, hlm 254.
[4] Ibid, hlm 254.
[5] Ibid, hlm 254.
[6] Munzier Suparta, Metode Dakwah. (Jakarta :Rahmat Semesta. 2009). Hlm, 315.
[7] Ibid, hlm 316.
[8] Ibid, hlm 316.
[9] Ibid, hlm 317.
[10] Ibid, hlm, 317.
[11] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah. (Jakarta, Prenamedia Group. 2015), cet. 5, Hlm 390.
[12]Asmuni Syukir. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. (Surabaya, Al-Ikhlas. 1983), Hlm, 142.
[13] Ibid, hlm 142.
[14] Munzier Suparta, Metode Dakwah, Hlm, 328.
[15] Ibid, hlm, 329.
[16] Ibid, hlm 329.
[17] Ibid, hlm. 329.
[18] Ibid, hlm. 330.
[19] Ibid, hlm. 331.
[20] Ibid, hlm. 332.
[21] Ibid, hlm. 332.
[22] Ibid, hlm. 333.
[23] Ibid, hlm. 334.
[24] Hamzah Tualeka. Pengantar Ilmu Dakwah. (Surabaya: Alpha. 2005), cet. 1, Hlm, 42.
[25] Munzier Suparta, Metode Dakwah, hlm. 335.
[26] Ibid, hlm. 335.
[27] Ibid, hlm. 336.
[28] Ibid, hlm. 336.
[29] Ibid, hlm. 336.
[30] Ibid, hlm. 336.
[31] Ibid, hlm, 337.
[32] Ibid, hlm, 337.
[33] Ibid, hlm, 337.
[34] Ibid, hlm, 337.
[35] Ibid, hlm, 338.
[36] Ibid, hlm, 338.
[37] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Cet-2, hlm 319.
[38] Munzier Suparta, Metode Dakwah, hlm, 339.
[39] Ibid, hlm, 340.
[40] Ibid, hlm, 337.
[41] Munzier Suparta, Metode Dakwah, hlm. 325.
[42] Ibid, hlm. 326.
[43] Ibid, hlm. 326.
[44] Ibid, hlm. 326.
[45]Ibid, hlm. 327.
[46] Ibid, hlm. 327.
[47] Ibid, hlm. 328.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Macam-Macam Thoriqoh Dan Tokoh

TOKOH-TOKOH dan SEJARAH  THARIQAH 1.       Thariqah Qadariyah T h arekat yang didirikan oleh Wali Agung Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Nama lengkapnya Say i d Abu Muhammad ‘Abdul Qadir al-Jailani’ putra dari Abu Shaleh Musa Jangki Dausat bin Abdullah. Ayahnya merupakan keturunan Imam Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang juga putra Fathimah az-Zahra binti Rasulullah. Dilahirhan pada tahun 471 H di daerah Jilan yaitu pedesaan yang terletak di daerah Thabaristan. Pada waktu kecil ia tidak mau menyusu pada ibunya di siang hari pada bulan Ramadhan. Ketika berusia remaja ia mengembara untuk menuntut ilmu Fikih kepada beberapa orang guru. Di antaranya Syaikh Abu Wafa Ali bin ‘Aqil’, Abu Khatabah al-Kalwadzani, dan lainnya. Ia belajar ilmu Adab pada Syaikh Abi Zakariya Yahya bin ‘Ali ath-Thibrizi dan berguru ilmu tarekat kepada Waliyullah Syaikh Khair Hamad bin Muslim ad-Dabbas. Sedang madat tasawuf ia terima dari tangan Abu Sa’id al-M...

Tafsir Al-Qur'an Surat Fushilat ayat 33-35

Berdakwah Dengan Perkataan Yang Baik (Surah Fushilat Ayat 33-35)        A.     Surat Fushilat ayat 33-35 وَ مَنْ اَ حْسَنُ قَوْلاًمِّمَّنْ دَ عَآ إِ لَى أ لَاللهِ وَعَمِلَ صَلِحًا وَ قَا لَ إِ نَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِىْنَ                                                                                    وَ لاَ تَسْتَوِ ى الْحَسَنَتُ وَلاَ السَّىِّئَةُ اُ دْ فَعْ بِا لَّتِى هِىَ اَ حْسَنُ فَإِ ذَا الّذِ ى بَىْنَكَ وَ بَىْنَهُ عَدَا وَةٌ كَأَ نَّهُ وَ لِىُّ حَمِىْمٌ           ...