Langsung ke konten utama

Cerpen Kehidupan


Oke, Sobat Sinta. Kali ini, aku ngepost sebuah cerpen. Aku nggak tau sih, bagus atau tidak jika menurut kalian. Yang penting, aku post dulu. Cerpen ini mengajak kita untuk bersyukur. Sekalipun kalian merasa hidup ini sangat berat buat kalian, percayalah jika ada seseorang yang kehidupannya lebih sulit dari kita. Syukuri apa yang di berikan Allah SWT kepada kita, maka Allah akan semakin menambah rezeki kita. Selamat membaca Sobat Sinta.
Gavril dan Aldi
Kicauan burung terdengar bersahut-sahutan di area perumahan elit itu, jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Di salah satu rumah besar berwarna orange tua itu, terlihat seorang anak kecil dengan seragam merah putihnya. Wajahnya tidak memperlihatkan semangat, bibir kecilnya mengerucut kecil sambil mengayun-ayunkan kakinya di kursi yang tengah ia duduki saat ini. “Gavril, sayang. Ayo nak, pakai sepatunya” seorang wanita cantik dengan hijab berwarna hijau tosca keluar dari dalam rumah sambil menenteng tas ransel bergambar transformer di tangannya.
Gavril hanya menatap ibunya tanpa berniat memakai sepatunya yang sudah dipersiapkan ibunya setengah jam yang lalu. “Mama, Gavril tidak sekolah ya!! Gavril, takut ma sama guru bahasa Indonesia Gavril” protes Gavril dengan tatapan penuh harap pada ibunya, menatap raut wajah Gavril yang enggan untuk berangkatpun, wanita berhijab itupun hanya tersenyum sabar. “Gavril sayang, kamukan sudah kelas tiga SD nak. Katanya mau membahagiakan mama sama papa. Gavril harus jadi anak yang baik”. Gavril mengerucutkan bibirnya sebal, lalu dengan kaki menghentak ia memakai sepatu hitamnya asal.
“Ma, Gavril berangkat ya. Assalamualaikum” pamitnya pada sang ibu. Mama Gavril tersenyum, “Hati-hati ya nak. Mama sama papa sayang  Gavril. Di dengarkan ya, ibu gurunya saat mengajar” Gavril hanya mengangguk tanpa tersenyum, lalu iapun melangkah pergi dari rumahnya.
Dengan suasana hati sebal, ia melangkahkan kaki kecilnya ke arah jalan raya menunggu angkutan umum yang membawanya menuju sekolahnya. Tatapannya menatap sebal jalan raya. “Apa aku bolos saja ya” bisiknya dalam hati. Ingin, sekali rasanya dia membolos sehari saja. Ini karena guru bahasa Indonesianya yang jahat. Andaikan, ia kemarin tidak di hukum karena  lupa mengerjakan PR mungkin ia masih manyukai guru bahasa Indonesianya.
Gavril menoleh ke arah kanan dan kiri. Dengan cepat, ia menyebrang lalu menyetop angkutan umum. Kaki kecilnyapun melangkah masuk ke dalam angkutan umum. Sudah ia putuskan, jika ia tidak akan pergi ke sekolah. Untuk hari ini saja, ia ingin pergi keliling kota Jakarta. “Lalu, bagaimana jika papa mama marah?” hati kecilnya berteriak seakan tidak setuju dengan apa yang dilakukan Gavril. Gavril terdiam, saat terbesit pemikiran akan marahnya papa dan mamanya, dengan cepat iapun menggeleng meyakinkan. “Kalau di marahin, tinggal di dengerin saja”
***
Angkutan umum berwarna kuning itu tiba-tiba berhenti. Gavril dan penumpang lain menatap supir paruh baya itu dengan tanda tanya. Sang supir berbalik dari kemudi, lalu meringis tidak enak mencoba meminta maaf. “Bapak, Ibuk, Adek. Maaf, sepertinya mobilnya mogok. Bisakah kalian membantu saya untuk mendorongnya?” pinta si Supir paruh baya itu.
Terdengar gerutuan dari para penumpang, kecuali dari Gavril. Dirinya memang berniat untuk membantu bapak supir, karena ia ingat perkataan mamanya kalau ada orang yang kesulitan, kita sesama manusia harus saling membantu. Para penumpangpun berhamburan keluar, termasuk Gavril. Namun, sebagian dari penumpang lebih memilih mencari angkutan umum lain, hanya tersisa dirinya, laki-laki berpakaian lusuh, dan seorang kakek-kakek. “sepertinya hanya tersisa kita” tukas laki-laki berpakaian lusuh itu, Gavril menatap laki-laki berpakaian lusuh itu. ia memperkirakan jika umur anak laki-laki itu sudah 11 tahun, yang artinya sudah menginjak kelas lima SD. “Tapi, kenapa dia tidak sekolah ya? kenapa juga dia bawa gitar kecil di tangannya?” batinnya, sambil menatap anak laki-laki itu dari atas ke bawah.
“iya, nak. Ayo kita bantu supirnya. Kasihan tidak ada yang bantu dorong” tukas laki-laki tua itu. “hei, kau nak. Kenapa bengong saja, ayo bantu dorong?” suruh laki-laki tua itu saat menatap Gavril yang sedang terbengong heran menatap laki-laki berpakaian lusuh.  Dengan langkah cepat, Gavrilpun mendekat ke arah badan mobil. “adek, kamu memangnya kuat mendorong mobil ini? kalau tidak kuat, mending kamu ngikutin kita dari belakang saja.” Tukas laki-laki berpakaian lusuh itu. ia merasa tidak tega melihat badan kecil Gavril mendorong badan mobil yang besar ini.
Gavril menggelang, “Kuat kak. Kata Mama kita harus saling tolong menolong” Gavrilpun kembali menatap badan mobil. Meskipun, ia akui ini sangat berat untuk tubuh kecilnya, tetapi dirinya harus menolong sesama.“ “ayo kita hitung, satu…dua…tiga… DORONG” dengan sekuat tenaga, tiga laki-laki yang beda usia itu mendorong mobil kuning itu. meskipun, beratnya sungguh luar biasa mereka tidak menyerah. Hingga akhirnyapun, mobil kembali dapat berjalan.
Nafas Gavril tersengga-senggal setelah mendorong mobil. Dengan cepat, ia mengambil botol minumannya dari kantong tasnya. Dengan tergesa, ia meminum air putihnya. Gavril menatap pria berpakaian lusuh dan laki-laki tua yang nafasnya sama-sama menderu keras. “Kalian, mau minum. Ini punya Gavril, kalian minum saja” Gavril menyodorkan botol minumannya lalu di ambil oleh laki-laki tua itu, setelahnya botol itu beralih ke arah anak laki-laki berpakaian lusuh. “terimakasih” tukas anak laki-laki pakaian lusuh.
Gavril menerima botol minumannya yang isinya tinggal sedikit. “sama-sama kak” balas Gavril.“ anak laki-laki berpakaian lusuh itupun tersenyum ”namaku, Aldi. Namamu siapa?” Tanya anak laki-laki yang bernama Aldi seraya mengulurkan tangan. Gavril menatap tangan kosong Aldi sejenak, lalu membalas jabatannya. “Gavril” balas Gavril takut, sejujurnya ia merasa was-was karena ia tidak terlalu mengenal Aldi, lalu bagaimana jika ia tiba-tiba di culik. Gavril bergidik saat membayangkan hal yang tidak-tidak membuat Aldi mengernyit heran.
“Gavril, kamu tidak papa?” Tanya Aldi dengan wajah penasaran. Gavril meringis malu sambil menggaruk kepala kecilnya “tidak kak. Gavril tidak apa-apa” Aldi hanya mengangguk paham menerima penjelasan Gavril. “kamu ini mau berangkat sekolah?” Tanya Aldi lagi. Gavril terdiam, tidak mungkinkan dia menjawab aku bolos sekolah, mau di letakkan di mana wajahnya. “Eunghh..” Gavril meraba saku seragamnya, matanya membulat lucu saat di rasa ia tidak menemukan uangnya. Ah dia lupa, tadikan dia langsung pergi dari rumah tanpa meminta uang saku pada mamanya. Aduh…bagaimana ini? nanti, ia akan membayar dengan apa?
Aldi masih menatap Gavril dengan tatapan heran saat melihat wajah Gavril yang terlihat panik. Ada apa Gavril? Tanya Aldi heran. Gavril tidak menggubris ucapan Aldi, tangannya sibuk merogoh kantong yang ada di tasnya barangkali ada uang saku yang ia sisakan, tetapi setelah lama mencari Gavril tidak menemukan uang sepeserpun. “kamu tidak bawa uang nak?” tanya laki-laki tua yang ada di depan Gavril. “Ia kek, Gavril tadi buru-buru. Jadi lupa minta uang saku ke mama” ucap Gavril seraya menunduk lesu. Supir paruh baya yang mendengar percakapan penumpangnyapun mendongak menatap spion mobil yang diatasnya “tidak papa nak. Kamu sudah bantu bapak tadi. Terimakasih ya. kamu mau turun di mana?” tanya Supir angkutan umum itu
Gavril terdiam, bingung akan menjawab apa. “kamu mau bolos sekolah ya Gavril?” tebak Aldi. Gavril menggaruk pelan kepalanya, lalu meringis kecil. “I..iya, kak. Habisnya guru bahasa Indonesia Gavril jahat sama Gavril.” Mendengar protesan Gavril, Aldi hanya menghela nafas. Ia sangat tidak setuju jika melihat ada anak yang menyia-nyiakan kesempatan emas yang dimilikinya. Sedangkan, ia sendiri. Ia harus putus sekolah untuk membantu kakeknya mencari uang. Kehidupan keras di Ibukota nomer satu di Indonesia ini, membuat dirinya dan kakeknya harus pontang-panting mencari uang untuk menghidupi kebutuhan mereka. “Gavril, seharusnya Gavril tidak membolos. Sekalipun Gavril tidak menyukai ibu gurunya, Gavril harus tetap masuk. Terjang saja apa yang menjadi ketakutanmu. Kamu termasuk orang beruntung Gavril karena bisa mencicipi bangku sekolah”
Gavril menunduk menyadari kesalahannya. “Ia kak maafin Gavril” Cicit Gavril lirih. Aldi menghela nafas lalu mengusap kepala Gavril. “lalu, sekarang Gavril mau ke mana?” Gavril menggeleng tidak tahu. “bagaimana kalau Gavril ikut kakak. Kakak mau menunjukkan sesuatu ke kamu saat di rumah kakak nanti”
***
“Kak, kita mau ke mana?” tanya Gavril yang saat ini berjalan mengekori Aldi. Aldi menghentikan langkahnya, lalu menggandeng tangan Gavril. “kakak mau kerja dulu Gavril” jelas Aldi. Mendengar jawaban Aldi, Gavril mengernyit bingung “Kakak tidak sekolah? Kenapa kakak harus kerja? Aldi tersenyum tipis, matanya menatap murid-murid SD yang mengenakan pakaian olahraga tengah melewati mereka. “Kakak harus bantu kakek kakak Gavril. Kasihan, beliau sudah tua. Kakak tidak tega jika kakek  kelelahan, di tambah lagi tidak ada uang untuk melanjutkan sekolah kakak” jelas Aldi. Gavril terhenyak mendengar ucapan Aldi, jadi di antara teman-temannya yang berkecukupan bergelimang harta ternyata ada anak yang kekurangan. Ia harus mengatakan ini kepada mama dan papanya. “bagaimana dengan papa-mama kakak?” Aldi tersenyum pahit, “Bapak sama Ibu sudah tenang di sana” tunjuk Aldi ke arah langit seraya tersenyum menatap Gavril. “Ayo.. nanti kakak tidak mendapat uang”
Ingatkah engkau kepada…
Embun pagi bersahaja..
Yang menemanimu, sebelum cahaya…
Ingatkah engkau kepada, angin yang berhembus mesra…
Yangkan membelaimu cinta…
Letto: Sebelum Cahaya
Gavril menepuk-nepukkan tangannya mengiringi iringan gitar Aldi. Mulanya Aldi melarangnya untuk melakukan ini, berhubung ia ingin merasakan apa yang di rasakan Aldi ia ingin mencobannya. Dan rasanya sungguh tidak enak, seakan hakmu sebagai anak kecil direnggut paksa. “Ini pasti yang dirasakan Kak Aldi waktu pertamakali mengamen” batinnya sedih sambil menatap Aldi yang masih bernyanyi tidak mengenal lelah, sekalipun orang-orang sudah mengibas-ngibaskan tangannya menyuruh mereka pergi. Gavril melangkah maju, menyodorkan kantung snack kosong ke arah orang-orang yang sedang menikmati makan siang mereka. Bahkan, kata ibunya ini adalah perbuatan jelek dengan meminta-minta kepada orang lain. “Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah” kata Ibunya saat itu.
“Capek Gavril?” tanya Aldi sambil berjalan bersisian dengan Gavril. “Sedikit kak” cicit Gavril lirih, ia tidak enak jika mengatakan yang sejujurnya jika ia lelah dan lapar. “Ayo istirahat, lalu kita makan bakso langganan kakak” wajah Gavril yang murung menjadi sumringah seketika, ini membuat Aldi terkekah dibuatnya.
“siapa Al anak kecil ini?” tanya abang tukang bakso dengan khas bataknya setelah melatakkan dua porsi bakso di hadapan Gavril dan Aldi. “Adik bang” balas Aldi lalu menatap Gavril yang menatap bakso yang ada didepannya. “makan Gavril, ini enak. Ini juga bersih, kamu tidak akan sakit perut” jelas Aldi. Abang tukang bakso itu terkekeh, “sejak kapan kau punya adik Al?” tanya retoris abang bakso itu lalu meninggalkan Gavril dan Aldi. Aldi hanya terkekeh menanggapi ucapan abang tukang bakso langganannya. Gavril mengiris sedikit bakso jumbonya, lalu memakannya pelan. “Enak kak rasanya” balas Gavril lalu dengan semangat memakan baksonya. “iyalah, percaya sama kakak saja”
“Kak kalau boleh tau, sejak kelas berapa kakak tidak sekolah?” tanya Gavril setelah meminum es tehnya. “sejak kakak kelas tiga SD, kira-kira seumuran kamu saat itu.” Gavril mengangguk paham “terus kakak sekarang kelas berapa?” tanya Gavril lagi “Kakak kelas lima SD Gavril” 
***
Gavril dan Aldi melangkahkan kaki mereka ke perkampungan kumuh. Gavril menatap anak-anak yang seumuran dengannya dengan prihatin. Baju mereka sudah tidak layak pakai jika dibandingkan dengan dirinya yang setiap bulan di belikan mamanya pakaian. Bahkan, ia sendiri baru tau jika ada perkampungan kumuh di ibukota Jakarta ini. “Kak, rumah kakak sebelah mana?” tanya Gavril.
Aldi terkekeh mendengar pertanyaan Gavril “Kakak tidak punya rumah Gavril. Tempat tinggal kakak kecil, tidak bisa disebut sebagai rumah. Lagipula, kita tidak ke rumah kakak sekarang” jelas Aldi. “lalu kita akan ke mana kak? Tanya Gavril “nanti kamu akan tahu sendiri” balas Aldi, Gavril hanya menganggukkan kepalanya mengerti, semua mata memandang ke arahnya. Mungkin, mereka semua merasa heran jika Gavril masih memakai seragam sekolah. “kak, kenapa semua pada ngelihatin Gavril?” tanya Gavril bingung bercampur takut. “tidak papa. Mereka hanya merasa iri melihatmu Gavril karena bisa sekolah” Gavril sentak menghentikan langkahnya ”jadi, mereka semua tidak sekolah?”batinnya
“apa mereka tidak sekolah kak?” penasaran dengan pertanyaan yang ada dibenaknya, lebih baik dirinya bertanya saja. “iya, mereka semua tidak sekolah Gavril. Maka dari itu, jangan pernah membolos lagi. Janji” Aldi membungkukkan badannya lalu mengangkat jari kelingkingnya di hadapan Gavril “Janji kak”. Setelah mereka berjalan cukup lama, mereka berhenti di sebuah rumah petak yang terbuat dari bambu, ukurannya hanya 3x4 m. banyak aqua-aqua bekas di samping rumah itu. “Kak Aldi” pekikan khas anak-anak merambat ke gendang suara Gavril dan Aldi. Gavril menatap kumpulan anak seusia dirinya atau bahkan di bawahnya tengah menatap Aldi dengan pandangan berbinar, seakan tidak sabar dengan apa yang akan mereka lakukan. Aldi tersenyum menanggapi murid-muridnya, sekalipun ia hanya sekolah sampai kelas tiga SD, setidaknya ia bisa baca dan tulis.
“hai adik-adik kakak. Sudah siap belajarnya?” tanya Aldi, ini membuat Gavril mengernyit heran. “Siap” balas anak-anak itu, Aldi menatap Gavril lalu menarik Gavril mendekat ke arahnya. “perkenalkan, ini namanya Gavril. Dia adik kakak”
“aku-ayah-budi”
“Ibu-Bu-di”
“….”
Gavril menatap acara belajar mengajar itu dengan seksama. Melihat itu semua, ini membuat dirinya merasa malu. Ia yang bahkan dari keluarga berada tidak memiliki semangat yang tinggi seperti teman-teman barunya saat ini. mulai sekarang ia harus berubah, mama-papanya tidak boleh kecewa. “kak, Gavril boleh membantu?” tanya Gavril yang dijawab dengan anggukan Aldi.
***
“bahasa inggris kamu hebat ya Gavril” puji Aldi setelah melihat Gavril berbagi ilmu bahasa inggrisnya. Ia bahkan sampai heran, anak sekecil Gavril mampu menguasai bahasa inggris secara aktif. “Biasa aja kak. Sudah jadi bahasa sehari-hari di rumah. Mama sama papa memang sudah membiasakan Gavril sedari kecil” balas Gavril
“kamu tidak pulang Gavril? Ini sudah hampir jam tiga sore” tanya Aldi khawatir “nanti kak. Ayo pergi ke rumah kakak” ajak Gavril yang di balas anggukan oleh Gavril. “ayo. Nanti kakak kenalkan dengan kakek kakak” merekapun berjalan tanpa tahu ada yang mengawasi mereka sedari tadi.
Aldi dan Gavril sentak menghentikan langkahnya saat melihat segerombolan prema menghadang mereka “Mau lari lagi Aldi. Mana uangmu, cepat berikan kepada kami” tukas salah seorang preman berbadan kekar berbaju hitam. Gavril mencekal erat tangan Aldi, ia sangat takut sekali. “Cih, tidak akan. Cari saja uang sendiri” balas Aldi tidak takut, ia sudah biasa seperti ini dihadang oleh preman, tapi tidak dengan Gavril. Diliriknya tubuh Gavril yang bergetar takut. “Gavril, kalau kakak hitung sampai tiga. Kita lari, Ok” bisik Aldi ke telinga Gavril.
“banyak omong lo Al. siniin uangmu” bentak pria berbaju merah. “satu..dua…tiga..lari” Aldi dan Gavrilpun berlari sekuat tenaga mereka menghindari kejaran para preman itu. sesekali Gavril melihat ke belakang “Fokus Gavril. Jangan lihat belakang” teriak Aldi yang tertelan oleh angin. Ke tiga preman itu masih mengejar mereka. Aldi mengedarkan matanya, lalu segera menarik Gavril untuk bersembunyi di balik pohon beringin yang besar. Nafas mereka berdua menderu cepat. Rasanya tenggorokan kering akibat berlari marathon tadi. Ke tiga preman itu berhenti tepat di samping pohon persembunyian mereka. Lalu, tidak lama kemudia tiga preman itupun pergi. Aldi menghela nafas lega “maaf ya. kamu jadi kesusahan seperti ini” tukas Aldi, yang dijawab anggukan oleh Gavril. “ayo pulang ke rumah kakak”
***
Aldi membuka pintu rumahnya yang terbuat dari bambu. Gavril masih mengedarkan matanya ke sekeliling rumah, rumah ini juga hampir sama dengan rumah yang tadi hanya saja rumah aldi cukup bersih dan terawat. “minum Gav” Aldi menyuguhkan air putih di hadapan Gavril yang segera di minum Gavril hingga habis. “di mana kakek kakak?” tanya Gavril
“di kamar Gav. Kakek lagi sakit” tukas Aldi dengan mata meredup. “Sakit apa kak?” tanya Gavril lagi. “TBC Gav” meskipun Gavril tidak mengeti apa itu TBC, sepertinya itu berbahaya. “Gavril boleh berkenalan dengan Kakek kak?” tanya Gavril “jangan Gav. Kakek sakit parah, takutnya nular ke kamu”
“tidak akan kak. Ayo, kenalkan aku dengan kakek” Aldipun hanya mengangguk lalu mengajak masuk ke dalam rumahnya. Gavril menatap prihatin tubuh renta yang tengah berbaring lelah. “Kek. Ada yang ingin bertemu kakek” Gavril mendekat lalu tersenyum ke arah kakek Jono. “hai kek, namaku Gavril. Aku teman kak Aldi. Kakek cepet sembuh ya”
“Gavril. Anak tampan, terimakasih sudah mau berteman dengan cucu kakek” balas Kakek Jono dengan lirih. Ia senang jika Aldi bisa tersenyum lagi karena memiliki teman. Gavril tersenyum menanggapi omongan kakek Jono. Ia merasa kasihan melihat kakek Jono, badannya kurus kering di gerogoti oleh TBC “kak, apa kakek sudah di bawa ke dokter?” tanya Gavril  penasaran “sudah Gav. Tapi, kakek memilih rawat jalan, karena kami tidak mampu membayar biaya rumah sakit” Gavril menatap sendu kakek Jono yang saat ini sudah terlelap kembali.
***
Gavril melangkah pelan ke arah rumahnya, tadi Aldi yang sudah mengantarnya sampai depan pintu gerbang perumahan. Langkah kecil itu menghentikan langkahnya tepat berada di depan pagar rumahnya. Iya harus jujur ke papa dan mamanya jika ia membolos. Di gesernya pelan gerbang rumahnya. Papa dan mamanya menunggunya di depan rumah, wajah mereka terlihat khawatir. “Gavril” teriak papa dan mamanya lega, dengan langkah cepat ke dua orang tua itu berlari ke arah putra mereka. “Ya Allah Gavril. Kamu ke mana nak? Mama papa cariin kamu, tadi mama telepon wali kelas kamu, katanya tidak masuk hari ini” Cicit mamanya khawatir, ia sudah tidak perduli dengan kelakuan Gavril yang membolos, yang terpenting putranya sudah ada dihadapannya saat ini. “maafin Gavril ma-pa, Gavril bolos sekolah. Gavril janji tidak akan mengulangi itu semua. Tadi Gavril bertemu dengan anak yang namanya Aldi ma. Kak Aldi yang sudah menyadarkan Gavril kalau di luar sana masih banyak anak yang tidak bisa sekolah, dan Gavril tidak boleh menyia-nyiakan itu semua.” Rani menghela nafas lega mendengar segala keluh kesah putranya, siapapun itu yang bernama Aldi dia sangat berterimakasih padanya.
“Iya sayang, mama papa maafin kamu” jawab Raka, papanya. “Uhm..pa. boleh minta bantuan papa” tanya Gavril hati-hati. Raka mengernyit heran atas permintaan putra kecilnya, lalu iapun mengangguk. “Gavril mau, baju-baju Gavril yang sudah tidak di pakai Gavril di sumbangkan ke orang lain pa. tadi, Gavril lihat banyak anak seumuran Gavril memakai pakaian yang tidak layak pakai pa-ma” Raka tersenyum lalu menatap Rani yang juga sedang menatapnya “Iya sayang, papa akan bantu kamu. Lalu, apa ada lagi?” tanya Raka dengan mata berbinar bangga menatap putranya. “Eunnggh…papa mau nggak ngebayarin perawatan kakek teman Gavril, namanya Kak Aldi. Kasihan pa kakeknya, kurus sekali. Dia sakit TBC. Gavril ngak tega ngelihatnya, berasa melihat kakek Gavril sendiri” tanya Gavril dengan mata berkaca-kaca dan penuh harap. “iya, papa akan bantuin membayar perawatan kakek teman Gavril. Sudah jangan nangis jagoan papa” desah Raka lirih sambil mengangkat Gavril ke dalam rumah. Rani tersenyum bangga menatap putranya yang masuk ke dalam rumah bersama suaminya. Ia tidak menyangka, putranya yang sekecil itu mampu mempunyai pemikiran mulia.
***
Raka turun dari marchades benz silver miliknya lalu membukakan pintu untuk istri dan putranya. Mereka saat ini sudah sampai di tempat yang tadi ditunjukkan Gavril arahnya. Raka menatap miris perkampungan kumuh ini. sampah-sampah non organic berserakan di sana-sini seakan merusak mata memandang. “Pa, ayo ikut Gavril. Kita harus cepat bawa kakek Jono ke rumah sakit” Pekik Gavril sambil menarik-narik tangan ke dua orang tuanya untuk mengikutinya. “iya sayang, pelan-pelan” tukas Rani
Raka sekeluarga terdiam melihat suasana duka yang sangat kental menyelimuti rumah berukuran 3x4 itu. banyak warga berlalu-lalang untuk bertakziah. Gavril dengan lemas melepas genggamannya dengan Rani, matanya berkaca-kaca seakan merasakan apa yang di rasakan keluarga yang ditinggalkan “Kak Aldi” panggilnya, lalu berlari masuk ke dalam rumah kecil itu. Gavril menatap sendu Aldi yang menangisi kepergian kakeknya, padahal baru saja kemarin ia bertemu dengan kakek Jono.
“Kak Aldi” lirih Gavril, semua mata memandang Gavril heran. Gavril melangkah pelan ke arah Aldi lalu memeluknya erat. “kakak yang sabar ya. ada Gavril, mama dan papa di sini” hibur Gavril, Aldi yang mendengar perkataan Gavril hatinya semakin berdenyut, ia ingat akan fakta yang menimpanya saat ini bahwasannya ia sebatangkara saat ini. “Gavril..Hiks…aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kakek sudah ninggalin aku pergi” racau Aldi seraya memeluk Gavril erat.
Rani yang melihat adegan seperti itu, hatinya bergetar keras. Ingin sekali ia mengangkat Aldi sebagai putranya. Toh mereka sudah seperti kakak adik sekalipun mereka tidak memiliki hubungan darah sekalipun. Di tatapnya Raka yang masih menatap miris putranya “Mas, apa boleh jika kita mengangkat Aldi menjadi putra kita?” tanya Rani hati-hati. Raka menatap mata rani, lalu tersenyum “sebelum kamu utarakan semua yang ada di fikiranmu. Mas sudah memikirkannya Rani” senyuman lega tercetak jelas di wajah cantiknya mendengar persetujuan dari Raka. “jadi, mas mengizinkannya?” Tanya Rani lagi yang di tanggapi anggukan oleh Raka. “Makasih mas” 
***
Rani menyodorkan minuman di hadapan Aldi. Saat ini, mereka sudah ada di kediaman Raka Anggara. Aldi menatap heran Raka dan Rani yang tiba-tiba mengajaknya ke kediaman Anggara. “ayo kak, di minum” Tukas Gavril tidak sabaran saat melihat Aldi yang tidak kunjung meminum airnya. Dengan pelanpun Aldi meminum sedikit jus avokad buatan mama Gavril.
“Aldi, kamu pasti bingung kenapa kami mengajakmu ke sini” Raka menjelaskan kepada Aldi dengan pelan “iya, om. Saya bingung” tukas Aldi sopan. Raka terlihat menghela nafas lalu tersenyum “mulai saat ini, kamu adalah bagian dari keluarga Anggara. Panggil om Raka dan tante Rani dengan sebutan Papa dan Mama”
“Maksud Om?” tanya Aldi bingung
“kamu kami angkat menjadi putra angkat kami nak. Sekarang kamu tidak akan sendirian menghadapi dunia kejam ini. ada papa, mama dan Gavril yang selalu menemanimu” aldi berkaca-kaca mendengar penjelasan Raka. Sungguh, ia sangat bahagia sekali. Di balik kematian kakeknya, ada keluarga yang rela menjadikannya putra angkat mereka. “Ya Allah terimakasih telah memberikan hambamu ini keluarga baru” batinnya seraya meneteskan air mata bahagia. “makasih om-tante” Rani memberenggut mendengar panggilan itu, ia menatap putranya yang besar dengan sayang “panggil papa mama Aldi Anggara” cicit Rani yang dibalas senyum bahagia Aldi “Makasih papa, mama, dan adikku Gavril.”

 Finish

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Macam-Macam Thoriqoh Dan Tokoh

TOKOH-TOKOH dan SEJARAH  THARIQAH 1.       Thariqah Qadariyah T h arekat yang didirikan oleh Wali Agung Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Nama lengkapnya Say i d Abu Muhammad ‘Abdul Qadir al-Jailani’ putra dari Abu Shaleh Musa Jangki Dausat bin Abdullah. Ayahnya merupakan keturunan Imam Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang juga putra Fathimah az-Zahra binti Rasulullah. Dilahirhan pada tahun 471 H di daerah Jilan yaitu pedesaan yang terletak di daerah Thabaristan. Pada waktu kecil ia tidak mau menyusu pada ibunya di siang hari pada bulan Ramadhan. Ketika berusia remaja ia mengembara untuk menuntut ilmu Fikih kepada beberapa orang guru. Di antaranya Syaikh Abu Wafa Ali bin ‘Aqil’, Abu Khatabah al-Kalwadzani, dan lainnya. Ia belajar ilmu Adab pada Syaikh Abi Zakariya Yahya bin ‘Ali ath-Thibrizi dan berguru ilmu tarekat kepada Waliyullah Syaikh Khair Hamad bin Muslim ad-Dabbas. Sedang madat tasawuf ia terima dari tangan Abu Sa’id al-M...

Tafsir Al-Qur'an Surat Fushilat ayat 33-35

Berdakwah Dengan Perkataan Yang Baik (Surah Fushilat Ayat 33-35)        A.     Surat Fushilat ayat 33-35 وَ مَنْ اَ حْسَنُ قَوْلاًمِّمَّنْ دَ عَآ إِ لَى أ لَاللهِ وَعَمِلَ صَلِحًا وَ قَا لَ إِ نَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِىْنَ                                                                                    وَ لاَ تَسْتَوِ ى الْحَسَنَتُ وَلاَ السَّىِّئَةُ اُ دْ فَعْ بِا لَّتِى هِىَ اَ حْسَنُ فَإِ ذَا الّذِ ى بَىْنَكَ وَ بَىْنَهُ عَدَا وَةٌ كَأَ نَّهُ وَ لِىُّ حَمِىْمٌ           ...

Metode Dakwah Mujadalah

Hai Sobat Sinta!!! Kali ini, saya mau posting salah satu metode dakwah yang digunakan para da’i. Mungkin, yang masih awam soal dakwah pasti mereka bakal tanya “Dakwah? Bukannya metodenya Cuma ceramah ya??” anda, tidak 100% benar sobat. Ceramah memanglah salah satu metode dakwah, tetapi tidak hanya metode ceramah saja yang di gunakan para Da’i. Masih ada, metode bil-lisan, metode dakwah dengan tindakan, metode bil-hikmah, metode mau’idhotul hasanah, metode mujadalah dan lain sebagainya. Nah, kali ini saya akan menjelaskan sedikit soal metode Mujadalah. Berikut penjelasan saya:       A.     Pengertian Metode Al-Mujadalah Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah berasal dari kata “ Jadala ” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan Alif pada huruf jim yang mengikuti wazan Faaala , “ jaa dala ” dapat bermakna berdebat, dan “ Mujadalah ” perdebatan. [1] Kata “ Jaadala ” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuat...