Langsung ke konten utama

Cabang Ilmu Hadist

A.    Ilmu Rijal al-Hadis
Menurut bahasa, Rijal artinya para kaum pria. Ilmu rijal al-hadis merupakan ilmu yang membicarakan tentang tokoh yang membawa hadis semenjak dari nabi sampai dengan periwayat terakhir. Ilmu rijal al-hadis merupakan jenis ilmu yang penting, karena ilmu ini mencakup kajian terhadap sanad dan matan. Rijal yang menjadi sanad merupakan para perawinya. Mereka itulah yang menjadi obyek kajian ilmu rijal al-hadis.
Kata rijal al-hadis berarti orang-orang yang meriwayatkan hadis serta berkecimpung dengan hadis Nabi. Secara terminologis, ilmu ini didefinisikan dengan:
“Ilmu yang membahas tentang keadaan para periwayat hadis baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi-generasi berikutnya.”[1]
Subhi mendefinisikan ilmu Rijal al-Hadis ini dengan:
“Ilmu untuk mengetahui para periwayat hadis dalam kapasitasnya sebagai periwayat hadis.”[2]
Ilmu rijal al-hadis membahas keadaan para perawi hadis semenjak masa sahabat, tabi’in, tabi’it al-tabi’in, dan generasi-generasi berikutnya yang terlibat dalam periwayatan hadis. Di dalamnya di terangkan sejarah ringkas tentang riwayat hidup para periwayat, guru-guru dan murid-murid mereka, tahun lahir dan wafat, dan keadaan serta sifat-sifat mereka.
Ilmu Rijal al-hadis muncul bersamaan dengan kebutuhan para ulama akan periwayatan hadis. Dan merebaknya, setelah timbulnya hadis-hadis palsu. Tampaknya, setelah hadis palsu bermunculan, maka para ulama mereka berkepentingan menelusuri jati diri pembawa hadis dan guru-guru yang menyampaikan hadis kepadanya.
Ilmu Rijal al-hadis mempunyai beberapa cabang di antaranya: pertama, Ilmu Tarikh al-Ruwah, yaitu ilmu yang membahas segala hal yang terkait dengan para periwayat hadis. Secara bahasa, kata Tarikh al-Ruwah berarti sejarah para periwayat hadis. Ilmu ini menjelaskan tentang keberadaan para periwayat hadis dengan menyebutkan sejarah kelahiran, meninggal, para guru mereka dan sejarah berkenaan dengan penerimaan dari mereka, murid-murid yang meriwayatkan hadis dari mereka, Negara dan tanah air mereka, perjalanan dan sejarah kehadiran mereka ke berbagai Negara. Melalui ilmu ini dapat diketahui keadaan para periwayat yang menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan para periwayat hadis yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya.[3]
Di kalangan ulama mutaqaddimun, ilmu ini dikenal dengan ‘ilm Tarikh al-Ruwah, Tarikh al-Ruwah, ‘Ilm al-Tarikh, wafiyat al-ruwah, dan lain-lain. Tetapi, setelah abad kelima ulama hadis mutaakhirun menyebutnya al-tarikh wa al-wafiyat.[4]
Para ulama hadis bervariasi dalam menyusun kitab tentang tarikh al-ruwah. Ada yang menyusun kitab berdasar tabaqah (generasi) para periwayat dengan memaparkan keberadaan para periwayat satu tabaqah kemudian tabaqah berkutnya dan seterusnya. Misalnya, kitab Tabaqat al-Kubra karya Muhammad Ibn sa’ad dan Tabaqat al_ruwah oleh kahlifat Ibn Khiyath al-Ashfari.
Kedua, ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, yaitu ilmu yang menerangkan tentang cacat dan keadilan para periwayat hadis menggunakan redaksi khusus dan membahas pula tingkatan-tingkatan redaksi. Ilmu ini pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu Rijal al-hadist, tetapi karena ilmu ini membahas hal penting dari kepribadian periwayat hadis, maka dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

B.     Ilmu al-Jarh wa al-Tadil
Menurut bahasa, al- jarh artinya cacat. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis, seperti pelupa, pembohong, dan sebaginya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tersebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini ditolak, dan hadisnya dinilai lemah (dhaif). Ta’dil menurut bahasa artinya menilai adil kepada orang lain. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti kuat hafalan, terpercaya, carmat, dan lain sebagainya. Hadisnya dinilai shahih. Jadi, ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas pribadi perawi, baik sisi negative maupun sisi positifnya.
Dalam ilmu hadis, penyelidikan terhadap para periwayat adalah kewajiban dalam rangka memelihara kemurnian sunnah nabi yang didasarkan pada kaedah umum ajaran islam. Ada beberapa ayat yang memberi inspirasi kepada para ulama agar penyelidikan dalam rangka ini dilakukan. Dalam surah al-hujarat ayat 6.
“Hai orang-orang mukmin, jika datang kepadamu oaring fasiq dengan membawa berita maka selidikilah. Mungkin, kamu dapat mendatangkan musibah kepada kaum karena ketidak-tahuan, akhirnya kamu menyesal Karena perbuatanmu”
Ayat ini mengandung maksud bahwa berita yang datang dari orang yang meragukan, mencurigakan, apabila tidak dapat dipercaya harus diteliti. Terlebih-lebih berita yang dibawa dinyatakan sebagai hadis nabi.
Ilm al-jarh wa al-ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadis karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar datang dari nabi dan mana yang bukan. Sesuai dengan fakta sejarah, pemalsuan hadis terjadi semenjak dini, menonjol pada masa perebutan kekuasaan politik islam. Fakta itu menunjukkan bahwa ternyata, tidak semua pembawa hadis itu dapat dipercaya. Menunjukkan cacat periwayat hadis bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan martabat induvidu, apalagi ulama, tetapi untuk melindungi informasi nabi dari kepalsuan. Para ulama sadar sepenuhnya bahwa menunjukkan aib orang lain itu dilarang oleh agama. Akan tetapi, bila al-jarh tidak dilakukan, maka bahaya yang timbul akan lebih besar, dan Hadis nabi tidak dapat diselamatkan.
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan hadis, karena untuk mengetahui hadis sahih harus didahului dengan mengetahui periwayatnya, mengetahui pendapat kritikus periwayat tentang jujur tidaknya periwayat sehingga memungkinkan dapat membedakan hadis yang dapat diterima atau ditolak. Karena itu, para ulama hadis mengkaji tentang periwayat hadis, mengikuti kehidupan ilmiah merekam, mengetahui seluruh hal ihwal mereka, dan lain sebagainya. Perbedaan ilmu Rijal al-hadis dengan ilmu sebelumnya terletak pada spesifikasi paparan nilai kredibilitas perawi untuk dapat diketahui status perawi tersebut, apakah periwayatnya layak diterima atau ditolak.
C.     Ilmu Gharib al-Hadis
Ilmu gharib al-hadis adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui dan yang jarang dipakai oleh umum. Ilmu ini menjelaskan suatu hadis yang samar maknanya. Para ulama memperhatikan ilmu ini karena ilmu ini mengkaji tingkatan kekuatan lafal hadis dan pemahaman maknanya, karena sukar bagi seseorang untuk meriwayatkan sesuatu yang maknanya tidak dapat dipahami, atau memikul suatu hadis yang tidak baik penyampaiannya.[5] Ilmu ini bermanfaat dalam pemahaman makna dan kata-kata dalam hadis, terutama kata-kata yang jarang digunakan dalam bahasa arab pada umumnya.
Kata gharib, berarti kalimat yang sulit difahami karena asing atau tidak tersusun dengan baik. Kata ini mengandung dua hal, yaitu kalimat yang sulit dipahami kecuali dengan berpikir keras memiliki makna yang tinggi dan ucapan seseorang yang berasal dari suatu daerah yang jauh dari mayoritas kabilah Arab sehingga terdapat kata-kata asing. Objek yang dibahas dalam ilmu ini adalah kata yang musykil dan susunan kalimat yang sulit dipahami karena kata-kata atau kalimat tersebut jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari di kalangan sahabat saat itu.
Cikal bakal ilmu gharib al-hadis karena Nabi pernah bersabda pada para delegasi kabilah-kabilah Arab sesuai bahasa asli mereka namun para sahabat yang hadir saat itu tidak mengerti bebrapa kata yang disampaikan Nabi. Akhirnya mereka bertanya dan Nabi menjelaskan kepada mereka dan kejadian semacam ini berlangsung hingga Nabi wafat.[6] Setelah Rasulullah wafat, banyak orang non arab yang masuk islam dan belajar bahasa arab sebagai alat komunikasi mereka. Karena bahasa asli mereka adalah selain bahasa arab, maka mereka menemukan kata-kata gharib dalam hadis nabu, lebih banyak dari pada yang ditemukan oleh orang arab sendiri. Sejalan dengan perkembangan zaman, muncul generasi-generasi baru yang membutuhkan pengetahuan tentang kosa kata dalam hadis dan para ulama berusaha menjelaskannya baik secara persial maupun lengkap.
Demikian, para ulama hadis dan ulama bahasa arab dalam menjelaskan dan menguraikan kata-kata hadis agar mesyarakat  mudah memahami dan mengamalkan hukum yang terkandung di dalamnya. Mereka menyusun berbagai kitab dalam zaman yang berbeda-beda.
D.    Ilmu Asbab Wurud al-Hadis
Ilmu ini membahas tentang histori lahirnya suatu hadis yang dalam kajian al-qur’an di kenal dengan ilmu asbab al-nuzul. Ilmu asbab wurud al-hadis dapat membantu mengkaji dan meneliti hadis untuk memahami hadis Nabi secara konstektual. Hal ini dikarenakan, hadis nabi ada yang disertai dengan sebab tertentu yang mendorong Nabi bersabda dan ada pula yang tidak disertainya. Sebab ini menjadi latar belakang yang dapat memperjelas maksud hadis dan cakupan maknanya. Secara istilah, ilmu Asbab Wurud al-hadis adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi menyampaikan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya.[7]
Ilmu ini mempunyai kaedah-kaedah yang menerangkan tentang latar belakang dan sebab-sebab adanya hadis. Mengetahui peristiwa yang menjadi latar belakang disampaikannya suatu hadis sangat penting untuk membantu mendapatkan pemahaman hadis secara sempurna. Pemahaman hadis dilihat dari segi sebab wurud, di kalangan ulama ada yang mendahulukan sebab atau latar belakang tapi adapula yang mendahulukan keumuman lafal hadis. Pendapar pertama menyatakan al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafz bahwa argumentasi yang dipegang berdasar pada sebab tertentu yang bersifat khusus bukan pernyataan yang terdapat pada redaksi hadis, sebaliknya pendapat kedua menyatakan al-ibarah bi’ umum al-lafz la bi khusus al-sabab yaitu mendahulukan redaksi umum hadis dari pada latar belakang yang menyebabkannya.
E.     Ilmu Nasikh wa mansukh al-hadist
Ilmu ini membahas tentang hadist-hadist yang kontradiktif yang tidak mungkin dikompromikan antara keduanya dengan menjadikan satu sebagai nasikh ( penghapus) dan yang lainnya sebagai manssukkh ( yang dihapus). Hal ini terjadi apabila terdapat dua atau beberapa hadis yang kontradiktif dan dapat diketahui hadis yang lebih awal disampaikan Nabi disampaikan Nabi dan hadist yang disampaikan Nabi lebih akhir.Nasikh dan mansukh biasanya terkit dengan kajian hukum sehingga hukum yang lebih awal direvisi atau diganti dengan hukum yang datang berikutnya.
Secara bahasa kata nasikh dan mansukh berasal dari kata al-nasakh yang memiliki banyak makna diantaranya al-izalah (menghilangkan), al-tabdil (mengganti), at-tahwil ( mengalihkan), dan al-naql (memindahkan).
Menurut terminologi nasakh mempunyai 2 definisi yaitu pertama, nasakh berarti penjelasan tentang berakhirnya hukum syara’ melalui jalan hukum syara’ karena adanya rentang waktu. Kedua, menurut sebagian ahlli al-usul , nasakh adalah penghapusan suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ karena adanya rentang waktu. Pada intinya nasikh adalah dalil atau hukum syara’ yang datang kemudian sebagai pengganti hukum yang telah ada sebelumnya. Sedangkan mansukh secara bahasa berarti sesuatu yang dihapus,yang dihilangkan, yang dipindah atau disalin.
Ilmu Nasikh dan Mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadist dihukumi sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadist yang lebih dahulu disebut sebagai mansukh dan yang lain yang datang kemudian sebagai nasikh.
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan keharusan bagi seseorang yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin meng-istinbatkan dan menyimpulkan suatu hukum tanpa mengtahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh karena itu para ulama sangat memperhatikan ilmu ini dan menganggapnya sebagai salah satu ilmu yang sangat penting dalam ilmu hadist. Dua hal ini harus diketahui olehorang yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’at. Sebab tidak mungkin bagi seseorang untuk menggali hukum-hukum dari dalil-dalinya tanpa mengetahui dalil-dalil yang nasikh dan mansukh.
Diantara ulama yang yang mengarang kitab tentang Nasikh wa mansukh al-hadist adalah Qatadah ibn Di’amah al-sudusi, kemudian disusul oleh Abu Bakar Ahmad ibn Muhammad al-asram, ibn Syahin, Abu Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-hamdani.
Contoh nasakh dalam sabda Rasulullah SAW:
كنتم نهيتكم عن زيا رة القبور فزورها فإنها تذكر الآخرة
Artinya: “Saya (pernah ) melarang kalian berziarah kubur, namun (sekarang) berziarah kuburlah kalian, karena itu bisa mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Malik ibn Anas,Muslim, Abu Dawud, Al-Nassa’I dan Tirmizi).

F.      Ilmu Mukhtalaf Hadist
Ilmu ini membahas hadist-hadist yang menurut lahirnya bertentangan untuk dikompromikan dengan cara membatasi kemutlakannya, mentakhsis keumumannya dan lain sebagainya. Para ulama menyebut ilmu ini dengan ilmu Musykil al-hadist, ikhtilaf al-hadist,ta’wil al-hadist dan talfiq al-hadist.
Ilmu ini menurut Muhammad ‘Ajjaj al-khatib termasuk salah satu ilmu hadist yang sangat penting yang harus dikuasai oleh ahli haist, ahli fiqih, dan ulama lainnya. Ilmu ini diperoleh melalui penghafalan dan pemahaman terhadap hadist dengan baik, pengetahuan hadist yang umum dan khusus, hadist yang mutlak dan muqayyad dan lain sebagainya. Orang yang menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih dan berpengalaman dan yang bisa mendalaminya hanyalah mereka yang mampu memadukan antara hadist dan fiqih. Ilmu ini merupakan salah satu buah dari penghafalan hadist, pemahaman secara mendalam terhadapnya, pengetahuan tentang ‘am dan khasnya, yang mutlaq dan muqoyyad dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penguasaan terhadapnya.
Para ulama telah menyusun kitab-kitab yang berkenaan dengan ilmu ini seperti Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’I dengan kitabnya Ikhtilaf al-hadist, setelah itu Imam ‘abd Allah ibn Muslim ibn qutaybah al-daynuri dengan kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-hadist, selain itu ada Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-thahawi.
Metode memahami Mukhtalaf Al-Hadist:
1.      Al-Jam’u wa Al-Taufiq (Kompromi)
Cara ini dilakukuan jika salah satu hadis bersifat khusus. Hadis yang bersifat khusus tersebut mengkhususkan hadis yang umum. Cara lainnya adalah menakwilkan salah satu hadis yang berlawanan dengan syara’, sedangkan hadis lain sesuai dengan syara’.
Contoh Al-Jam’u wa Al-Taufiq adalah hadis yang melarang dan membolehkan penulisan hadis. Hadis yang melarang:
Diriwayatkan dari Abu sa’id al-khudri bahwa Rasulullah bersabda. “janganlah engkau tulis dariku. Barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur’an, hapuslah.” (Hr. Muslim)
Sementara itu, hadis yang membolehkan penulisan hadis:
“Dari Abu hurairah berkata, “Pada saat Nabi menaklukan Mekah, beliau berdiri dan berkhutbah. Lalu berdirilah seorang laki-laki dari Yaman yang bernama Abu Syah dan bertanya, ‘Tuliskanlah aku’ Rasulullah bersabda, ‘Tuliskan untuk Abu Syah’”. (Hr. Bukhari dan Abu Dawud) Dalam riwayat Imam ahmad, ‘Tuliskanlah ia’.
2.      Al-Naskh(Penghapusan)
Jika al-jam’u wa al-taufiq tidak dapat dilakukan, ditetapkan bahwa hadis yang datang belakangan menasakh hadis yang lebih dahulu. Misalnya:
“Janganlah salah seorang di antara kalian memakan daging kurban setelah tiga hari. “(Hr. Al-Syafi’i)
“Dari Nubaisyah bahwa Rasulullah bersabda”Dahulu aku melarang kalian memakan daging kurban lebih dari tiga hari, tetapi (sekarang) makanlah dan simpanlah (Hr. Ibnu Majah dan Al-Nasa’i)
Hadis pertama melarang menyimpan daging kurban selama lebih dari tiga hari. Hal ini kemudian dinasakh oleh hadis kedua. Kata kuntu merupakan fi’Il madhi yang menunjukkan bahwa larangan menyimpan daging kurban berlaku pada masa lampau.
3.      Al-Tarjih(Pengunggulan)
Jika salah satu hadis yang kontradiktif tidak dapat diketahui apakah datang lebih dahulu atau belakangan, diaplikasikan, yaitu tarjih. Tarjih ialah pengunggulan salah satu hadis yang dilihat dari segi sanad, matan, atau penguat lain. Misalnya, dari segi matan mendahulukan makna hakikat daripada metafora. Dari segi sanad, Al-Hazimi dalam kitabnya yang berjudul al-I’tibar menjelaskan ada 50 sanad, Al-iraqi menjelaskan ada 110 sanad, dam al-suyuthi meringkasnya 7 sanad.
Contoh dua hadis Nabi yang tampak kontradiktif:
Barangsiapa yang pada waktu subuh mandi junib, tidak sah puasanya.” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Nabi pernah mandi junub pada waktu subuh setelah bersenggama, bukan karena mimpi, yang kemudian berpuasa ramadhan. (Hr. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah dan Ummu Salamah)
Hadis pertama menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mandi junub sebelum waktu subuh, tidak sah puasnya. Sebalikanya, hadis kedua menjelaskan bahwa Nabi pernah mandi junub pada waktu subuh kemudian berpuasa ramadhan. Kedua hadis ini tidak dapat diketahui hadis mana yang datang lebih dahulu. Oleh sebab itu, langkah berikutnya adalah tarjih, yaitu mengunggulkan salah satu hadis yang lebih kuat.
4.      Al-Tawaqquf(penundaan)
Al tawaqquf adalah hadis yang ditunada, dihentikan, di tinggalkan, atau tidak dapat diamalkan. Hadis ini bermula karena dua hadis yang kontradiktif tidak dapat dikompromikan, tidak dapat dinasakh, dan tidak dapat ditarjih. Oleh sebab itu, alternative terakhir adalah ditunda, dihentikan, ditinggalkan atau tidak diamalkan.
Hadis mutawaqqaf fih ini kasusnya hampir sama dengan mudhtharib yaitu dua gadis yang kontradiktif dan tidak dapat ditarjih. Akan tetapi, hadis madhtharib lebih umum daripada hadis mutawaqqaf fih. Hal itu karena hadis mudhtharib dapat terjadi pada sanad dan matan. Sekaligus dapat terjadi pada hadis sahih, hasan dan dhaif.
G.    Ilmu ‘Ilal Hadist
Kata ‘ialal merupakan bentuk jamak dari ‘illah, secara bahasa berarti penyakit. Menurut terminologi ulama hadist, ‘illah adalah sebab tersembunyi yang menyebabkan cacat suatu hadist yang secara lahiriyah tampak selamat. Cara mengetahui cacatnya suatu hadist adalah dengan menghimpun semua sanad yang berkaitan dengan hadist yang diteliti untuk mengetahui apakah hadist yang bersangkutan memili tawabi’ atau syawahid atau tidak. Kemudian seluruh rangkaian dan kualitas periwayat dalam sanad itu diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat hadist dan ‘illat hadist.
Para ulama hadist sangat memperhatikan ilmu ‘ilal al hadist, mereka berusaha menyeleksi sanad hadist, mengadakan pertemuan ulama dan berdialog serta mendengarkan pendapat mereka.  Semua yang dilakukan ini dilakukan untuk membedakan antara hadist shohih dan dha’if, yang tidak mengandung cacat, kejanggala.
Para ulama banyak menulis kitab tentang hal ini seperti contohnnya kitab al-tarikh wa al-‘ilal karya Yahya Ibn Ma’in, kitab ‘Ilal al-hadist karya Ahmad Ibn Hanbal, kitab al-musnad al-mu’allal karya YA’qub ibn Syaybah.





[1] Mahmud L-tahhan, Taysir Mustalah al-hadis (Beirut: Dar Al-Qur’an al karim, 1979 M), 224
[2] Sabhi al salih, Ulum al-hadis wa mustalahuh (Beirut: Dar al-Ilm li al Malayin, 1988 M), 110
[3] Muhammad ‘Ajjaj al-khatib, Usul al-hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut : Dar Al-Fikr, 1989), 253
[4] Ibid
[5] Muhammad ‘Ajjaj al-khatib, usul al-Hadist, 280
[6] Ibid., 281
[7] Mahmud al-Tahhan, Taysir, 225

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Macam-Macam Thoriqoh Dan Tokoh

TOKOH-TOKOH dan SEJARAH  THARIQAH 1.       Thariqah Qadariyah T h arekat yang didirikan oleh Wali Agung Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Nama lengkapnya Say i d Abu Muhammad ‘Abdul Qadir al-Jailani’ putra dari Abu Shaleh Musa Jangki Dausat bin Abdullah. Ayahnya merupakan keturunan Imam Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang juga putra Fathimah az-Zahra binti Rasulullah. Dilahirhan pada tahun 471 H di daerah Jilan yaitu pedesaan yang terletak di daerah Thabaristan. Pada waktu kecil ia tidak mau menyusu pada ibunya di siang hari pada bulan Ramadhan. Ketika berusia remaja ia mengembara untuk menuntut ilmu Fikih kepada beberapa orang guru. Di antaranya Syaikh Abu Wafa Ali bin ‘Aqil’, Abu Khatabah al-Kalwadzani, dan lainnya. Ia belajar ilmu Adab pada Syaikh Abi Zakariya Yahya bin ‘Ali ath-Thibrizi dan berguru ilmu tarekat kepada Waliyullah Syaikh Khair Hamad bin Muslim ad-Dabbas. Sedang madat tasawuf ia terima dari tangan Abu Sa’id al-M...

Tafsir Al-Qur'an Surat Fushilat ayat 33-35

Berdakwah Dengan Perkataan Yang Baik (Surah Fushilat Ayat 33-35)        A.     Surat Fushilat ayat 33-35 وَ مَنْ اَ حْسَنُ قَوْلاًمِّمَّنْ دَ عَآ إِ لَى أ لَاللهِ وَعَمِلَ صَلِحًا وَ قَا لَ إِ نَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِىْنَ                                                                                    وَ لاَ تَسْتَوِ ى الْحَسَنَتُ وَلاَ السَّىِّئَةُ اُ دْ فَعْ بِا لَّتِى هِىَ اَ حْسَنُ فَإِ ذَا الّذِ ى بَىْنَكَ وَ بَىْنَهُ عَدَا وَةٌ كَأَ نَّهُ وَ لِىُّ حَمِىْمٌ           ...

Metode Dakwah Mujadalah

Hai Sobat Sinta!!! Kali ini, saya mau posting salah satu metode dakwah yang digunakan para da’i. Mungkin, yang masih awam soal dakwah pasti mereka bakal tanya “Dakwah? Bukannya metodenya Cuma ceramah ya??” anda, tidak 100% benar sobat. Ceramah memanglah salah satu metode dakwah, tetapi tidak hanya metode ceramah saja yang di gunakan para Da’i. Masih ada, metode bil-lisan, metode dakwah dengan tindakan, metode bil-hikmah, metode mau’idhotul hasanah, metode mujadalah dan lain sebagainya. Nah, kali ini saya akan menjelaskan sedikit soal metode Mujadalah. Berikut penjelasan saya:       A.     Pengertian Metode Al-Mujadalah Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah berasal dari kata “ Jadala ” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan Alif pada huruf jim yang mengikuti wazan Faaala , “ jaa dala ” dapat bermakna berdebat, dan “ Mujadalah ” perdebatan. [1] Kata “ Jaadala ” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuat...