A. Ilmu
Rijal al-Hadis
Menurut bahasa, Rijal artinya para kaum pria. Ilmu rijal al-hadis merupakan ilmu yang membicarakan tentang tokoh yang
membawa hadis semenjak dari nabi sampai dengan periwayat terakhir. Ilmu rijal
al-hadis merupakan jenis ilmu yang penting, karena ilmu ini mencakup kajian
terhadap sanad dan matan. Rijal yang
menjadi sanad merupakan para perawinya. Mereka itulah yang menjadi obyek kajian
ilmu rijal al-hadis.
Kata rijal al-hadis berarti orang-orang
yang meriwayatkan hadis serta berkecimpung dengan hadis Nabi. Secara
terminologis, ilmu ini didefinisikan dengan:
“Ilmu yang membahas tentang keadaan para
periwayat hadis baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi-generasi
berikutnya.”[1]
Subhi mendefinisikan ilmu Rijal al-Hadis
ini dengan:
“Ilmu untuk mengetahui para periwayat
hadis dalam kapasitasnya sebagai periwayat hadis.”[2]
Ilmu rijal al-hadis membahas keadaan para
perawi hadis semenjak masa sahabat, tabi’in,
tabi’it al-tabi’in, dan generasi-generasi berikutnya yang terlibat dalam
periwayatan hadis. Di dalamnya di terangkan sejarah ringkas tentang riwayat
hidup para periwayat, guru-guru dan murid-murid mereka, tahun lahir dan wafat,
dan keadaan serta sifat-sifat mereka.
Ilmu Rijal al-hadis muncul bersamaan
dengan kebutuhan para ulama akan periwayatan hadis. Dan merebaknya, setelah
timbulnya hadis-hadis palsu. Tampaknya, setelah hadis palsu bermunculan, maka
para ulama mereka berkepentingan menelusuri jati diri pembawa hadis dan
guru-guru yang menyampaikan hadis kepadanya.
Ilmu Rijal al-hadis mempunyai beberapa
cabang di antaranya: pertama, Ilmu Tarikh
al-Ruwah, yaitu ilmu yang membahas segala hal yang terkait dengan para
periwayat hadis. Secara bahasa, kata Tarikh
al-Ruwah berarti sejarah para periwayat hadis. Ilmu ini menjelaskan tentang
keberadaan para periwayat hadis dengan menyebutkan sejarah kelahiran, meninggal,
para guru mereka dan sejarah berkenaan dengan penerimaan dari mereka,
murid-murid yang meriwayatkan hadis dari mereka, Negara dan tanah air mereka,
perjalanan dan sejarah kehadiran mereka ke berbagai Negara. Melalui ilmu ini
dapat diketahui keadaan para periwayat yang menerima hadis dari Rasulullah dan
keadaan para periwayat hadis yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya.[3]
Di kalangan ulama mutaqaddimun, ilmu ini dikenal dengan ‘ilm Tarikh al-Ruwah, Tarikh al-Ruwah, ‘Ilm al-Tarikh, wafiyat al-ruwah,
dan lain-lain. Tetapi, setelah abad kelima ulama hadis mutaakhirun
menyebutnya al-tarikh wa al-wafiyat.[4]
Para ulama hadis bervariasi dalam menyusun
kitab tentang tarikh al-ruwah. Ada yang menyusun kitab berdasar tabaqah (generasi) para periwayat dengan
memaparkan keberadaan para periwayat satu tabaqah
kemudian tabaqah berkutnya dan
seterusnya. Misalnya, kitab Tabaqat
al-Kubra karya Muhammad Ibn sa’ad dan Tabaqat
al_ruwah oleh kahlifat Ibn Khiyath al-Ashfari.
Kedua, ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, yaitu ilmu yang menerangkan tentang cacat dan
keadilan para periwayat hadis menggunakan redaksi khusus dan membahas pula
tingkatan-tingkatan redaksi. Ilmu ini pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu
Rijal al-hadist, tetapi karena ilmu ini membahas hal penting dari kepribadian
periwayat hadis, maka dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
B. Ilmu
al-Jarh wa al-Tadil
Menurut bahasa, al- jarh artinya cacat. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan
“sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis, seperti pelupa, pembohong, dan
sebaginya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat
tersebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini ditolak, dan
hadisnya dinilai lemah (dhaif). Ta’dil menurut bahasa artinya menilai
adil kepada orang lain. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang
melekat pada periwayat, seperti kuat hafalan, terpercaya, carmat, dan lain
sebagainya. Hadisnya dinilai shahih. Jadi, ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas pribadi perawi, baik
sisi negative maupun sisi positifnya.
Dalam ilmu hadis, penyelidikan terhadap
para periwayat adalah kewajiban dalam rangka memelihara kemurnian sunnah nabi
yang didasarkan pada kaedah umum ajaran islam. Ada beberapa ayat yang memberi inspirasi
kepada para ulama agar penyelidikan dalam rangka ini dilakukan. Dalam surah
al-hujarat ayat 6.
“Hai orang-orang mukmin, jika datang
kepadamu oaring fasiq dengan membawa berita maka selidikilah. Mungkin, kamu
dapat mendatangkan musibah kepada kaum karena ketidak-tahuan, akhirnya kamu
menyesal Karena perbuatanmu”
Ayat ini mengandung maksud bahwa berita
yang datang dari orang yang meragukan, mencurigakan, apabila tidak dapat
dipercaya harus diteliti. Terlebih-lebih berita yang dibawa dinyatakan sebagai
hadis nabi.
Ilm al-jarh wa al-ta’dil dibutuhkan oleh
para ulama hadis karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi
yang benar datang dari nabi dan mana yang bukan. Sesuai dengan fakta sejarah,
pemalsuan hadis terjadi semenjak dini, menonjol pada masa perebutan kekuasaan
politik islam. Fakta itu menunjukkan bahwa ternyata, tidak semua pembawa hadis
itu dapat dipercaya. Menunjukkan cacat periwayat hadis bukan dimaksudkan untuk
menjatuhkan martabat induvidu, apalagi ulama, tetapi untuk melindungi informasi
nabi dari kepalsuan. Para ulama sadar sepenuhnya bahwa menunjukkan aib orang
lain itu dilarang oleh agama. Akan tetapi, bila al-jarh tidak dilakukan, maka
bahaya yang timbul akan lebih besar, dan Hadis nabi tidak dapat diselamatkan.
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini muncul
bersamaan dengan munculnya periwayatan hadis, karena untuk mengetahui hadis
sahih harus didahului dengan mengetahui periwayatnya, mengetahui pendapat
kritikus periwayat tentang jujur tidaknya periwayat sehingga memungkinkan dapat
membedakan hadis yang dapat diterima atau ditolak. Karena itu, para ulama hadis
mengkaji tentang periwayat hadis, mengikuti kehidupan ilmiah merekam,
mengetahui seluruh hal ihwal mereka, dan lain sebagainya. Perbedaan ilmu Rijal
al-hadis dengan ilmu sebelumnya terletak pada spesifikasi paparan nilai
kredibilitas perawi untuk dapat diketahui status perawi tersebut, apakah
periwayatnya layak diterima atau ditolak.
C. Ilmu
Gharib al-Hadis
Ilmu gharib al-hadis adalah ilmu yang
menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui
dan yang jarang dipakai oleh umum. Ilmu ini menjelaskan suatu hadis yang samar
maknanya. Para ulama memperhatikan ilmu ini karena ilmu ini mengkaji tingkatan
kekuatan lafal hadis dan pemahaman maknanya, karena sukar bagi seseorang untuk
meriwayatkan sesuatu yang maknanya tidak dapat dipahami, atau memikul suatu
hadis yang tidak baik penyampaiannya.[5]
Ilmu ini bermanfaat dalam pemahaman makna dan kata-kata dalam hadis, terutama
kata-kata yang jarang digunakan dalam bahasa arab pada umumnya.
Kata gharib,
berarti kalimat yang sulit difahami karena asing atau tidak tersusun dengan
baik. Kata ini mengandung dua hal, yaitu kalimat yang sulit dipahami kecuali
dengan berpikir keras memiliki makna yang tinggi dan ucapan seseorang yang
berasal dari suatu daerah yang jauh dari mayoritas kabilah Arab sehingga
terdapat kata-kata asing. Objek yang dibahas dalam ilmu ini adalah kata yang
musykil dan susunan kalimat yang sulit dipahami karena kata-kata atau kalimat
tersebut jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari di kalangan sahabat saat
itu.
Cikal bakal ilmu gharib al-hadis karena
Nabi pernah bersabda pada para delegasi kabilah-kabilah Arab sesuai bahasa asli
mereka namun para sahabat yang hadir saat itu tidak mengerti bebrapa kata yang
disampaikan Nabi. Akhirnya mereka bertanya dan Nabi menjelaskan kepada mereka
dan kejadian semacam ini berlangsung hingga Nabi wafat.[6]
Setelah Rasulullah wafat, banyak orang non arab yang masuk islam dan belajar
bahasa arab sebagai alat komunikasi mereka. Karena bahasa asli mereka adalah
selain bahasa arab, maka mereka menemukan kata-kata gharib dalam hadis nabu, lebih banyak dari pada yang ditemukan oleh
orang arab sendiri. Sejalan dengan perkembangan zaman, muncul generasi-generasi
baru yang membutuhkan pengetahuan tentang kosa kata dalam hadis dan para ulama
berusaha menjelaskannya baik secara persial maupun lengkap.
Demikian, para ulama hadis dan ulama
bahasa arab dalam menjelaskan dan menguraikan kata-kata hadis agar
mesyarakat mudah memahami dan
mengamalkan hukum yang terkandung di dalamnya. Mereka menyusun berbagai kitab
dalam zaman yang berbeda-beda.
D. Ilmu
Asbab Wurud al-Hadis
Ilmu ini membahas tentang histori lahirnya
suatu hadis yang dalam kajian al-qur’an di kenal dengan ilmu asbab al-nuzul.
Ilmu asbab wurud al-hadis dapat
membantu mengkaji dan meneliti hadis untuk memahami hadis Nabi secara
konstektual. Hal ini dikarenakan, hadis nabi ada yang disertai dengan sebab
tertentu yang mendorong Nabi bersabda dan ada pula yang tidak disertainya.
Sebab ini menjadi latar belakang yang dapat memperjelas maksud hadis dan
cakupan maknanya. Secara istilah, ilmu Asbab Wurud al-hadis adalah ilmu yang
menerangkan sebab-sebab nabi menyampaikan sabdanya dan masa-masa Nabi
menuturkannya.[7]
Ilmu ini mempunyai kaedah-kaedah yang
menerangkan tentang latar belakang dan sebab-sebab adanya hadis. Mengetahui
peristiwa yang menjadi latar belakang disampaikannya suatu hadis sangat penting
untuk membantu mendapatkan pemahaman hadis secara sempurna. Pemahaman hadis
dilihat dari segi sebab wurud, di
kalangan ulama ada yang mendahulukan sebab atau latar belakang tapi adapula
yang mendahulukan keumuman lafal hadis. Pendapar pertama menyatakan al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum
al-lafz bahwa argumentasi yang dipegang berdasar pada sebab tertentu yang
bersifat khusus bukan pernyataan yang terdapat pada redaksi hadis, sebaliknya
pendapat kedua menyatakan al-ibarah bi’
umum al-lafz la bi khusus al-sabab yaitu mendahulukan redaksi umum hadis
dari pada latar belakang yang menyebabkannya.
E.
Ilmu Nasikh wa
mansukh al-hadist
Ilmu ini membahas tentang
hadist-hadist yang kontradiktif yang tidak mungkin dikompromikan antara
keduanya dengan menjadikan satu sebagai nasikh ( penghapus) dan yang lainnya sebagai
manssukkh ( yang dihapus). Hal ini terjadi apabila terdapat dua atau beberapa
hadis yang kontradiktif dan dapat diketahui hadis yang lebih awal disampaikan
Nabi disampaikan Nabi dan hadist yang disampaikan Nabi lebih akhir.Nasikh dan
mansukh biasanya terkit dengan kajian hukum sehingga hukum yang lebih awal
direvisi atau diganti dengan hukum yang datang berikutnya.
Secara bahasa kata nasikh dan
mansukh berasal dari kata al-nasakh yang memiliki banyak makna diantaranya
al-izalah (menghilangkan), al-tabdil (mengganti), at-tahwil ( mengalihkan), dan
al-naql (memindahkan).
Menurut terminologi nasakh mempunyai
2 definisi yaitu pertama, nasakh berarti penjelasan tentang berakhirnya hukum
syara’ melalui jalan hukum syara’ karena adanya rentang waktu. Kedua, menurut
sebagian ahlli al-usul , nasakh adalah penghapusan suatu hukum syara’ dengan
dalil syara’ karena adanya rentang waktu. Pada intinya nasikh adalah dalil atau
hukum syara’ yang datang kemudian sebagai pengganti hukum yang telah ada
sebelumnya. Sedangkan mansukh secara bahasa berarti sesuatu yang dihapus,yang
dihilangkan, yang dipindah atau disalin.
Ilmu Nasikh dan Mansukh adalah ilmu
yang membahas tentang hadis-hadis yang bertentangan yang tidak mungkin
dikompromikan, dimana salah satu hadist dihukumi sebagai nasikh dan yang lain
sebagai mansukh. Hadist yang lebih dahulu disebut sebagai mansukh dan yang lain
yang datang kemudian sebagai nasikh.
Mengetahui nasikh dan mansukh
merupakan keharusan bagi seseorang yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena
tidak mungkin meng-istinbatkan dan menyimpulkan suatu hukum tanpa mengtahui
dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh karena itu para ulama sangat memperhatikan
ilmu ini dan menganggapnya sebagai salah satu ilmu yang sangat penting dalam
ilmu hadist. Dua hal ini harus diketahui olehorang yang ingin mengkaji
hukum-hukum syari’at. Sebab tidak mungkin bagi seseorang untuk menggali
hukum-hukum dari dalil-dalinya tanpa mengetahui dalil-dalil yang nasikh dan
mansukh.
Diantara ulama yang yang mengarang
kitab tentang Nasikh wa mansukh al-hadist adalah Qatadah ibn Di’amah al-sudusi,
kemudian disusul oleh Abu Bakar Ahmad ibn Muhammad al-asram, ibn Syahin, Abu
Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-hamdani.
Contoh nasakh dalam sabda Rasulullah SAW:
كنتم نهيتكم عن
زيا رة القبور فزورها فإنها تذكر الآخرة
Artinya: “Saya (pernah ) melarang
kalian berziarah kubur, namun (sekarang) berziarah kuburlah kalian, karena itu
bisa mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Malik ibn Anas,Muslim, Abu Dawud,
Al-Nassa’I dan Tirmizi).
F.
Ilmu Mukhtalaf
Hadist
Ilmu ini membahas hadist-hadist yang
menurut lahirnya bertentangan untuk dikompromikan dengan cara membatasi
kemutlakannya, mentakhsis keumumannya dan lain sebagainya. Para ulama menyebut
ilmu ini dengan ilmu Musykil al-hadist, ikhtilaf al-hadist,ta’wil al-hadist dan
talfiq al-hadist.
Ilmu ini menurut Muhammad ‘Ajjaj
al-khatib termasuk salah satu ilmu hadist yang sangat penting yang harus
dikuasai oleh ahli haist, ahli fiqih, dan ulama lainnya. Ilmu ini diperoleh
melalui penghafalan dan pemahaman terhadap hadist dengan baik, pengetahuan
hadist yang umum dan khusus, hadist yang mutlak dan muqayyad dan lain
sebagainya. Orang yang menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu
yang luas, terlatih dan berpengalaman dan yang bisa mendalaminya hanyalah
mereka yang mampu memadukan antara hadist dan fiqih. Ilmu ini merupakan salah
satu buah dari penghafalan hadist, pemahaman secara mendalam terhadapnya,
pengetahuan tentang ‘am dan khasnya, yang mutlaq dan muqoyyad dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan penguasaan terhadapnya.
Para ulama telah menyusun
kitab-kitab yang berkenaan dengan ilmu ini seperti Imam Muhammad ibn Idris
al-Syafi’I dengan kitabnya Ikhtilaf al-hadist, setelah itu Imam ‘abd Allah ibn
Muslim ibn qutaybah al-daynuri dengan kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-hadist,
selain itu ada Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-thahawi.
Metode memahami Mukhtalaf Al-Hadist:
1.
Al-Jam’u wa Al-Taufiq
(Kompromi)
Cara ini dilakukuan jika salah satu hadis bersifat khusus. Hadis
yang bersifat khusus tersebut mengkhususkan hadis yang umum. Cara lainnya
adalah menakwilkan salah satu hadis yang berlawanan dengan syara’, sedangkan
hadis lain sesuai dengan syara’.
Contoh Al-Jam’u wa Al-Taufiq
adalah hadis yang melarang dan membolehkan penulisan hadis. Hadis yang melarang:
“Diriwayatkan dari Abu sa’id
al-khudri bahwa Rasulullah bersabda. “janganlah engkau tulis dariku.
Barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur’an, hapuslah.” (Hr. Muslim)
Sementara itu, hadis yang membolehkan penulisan hadis:
“Dari Abu
hurairah berkata, “Pada saat Nabi menaklukan Mekah, beliau berdiri dan
berkhutbah. Lalu berdirilah seorang laki-laki dari Yaman yang bernama Abu Syah
dan bertanya, ‘Tuliskanlah aku’ Rasulullah bersabda, ‘Tuliskan untuk Abu
Syah’”. (Hr. Bukhari dan Abu Dawud) Dalam
riwayat Imam ahmad, ‘Tuliskanlah ia’.
2.
Al-Naskh(Penghapusan)
Jika al-jam’u wa al-taufiq tidak dapat dilakukan, ditetapkan bahwa
hadis yang datang belakangan menasakh hadis yang lebih dahulu. Misalnya:
“Janganlah
salah seorang di antara kalian memakan daging kurban setelah tiga hari. “(Hr. Al-Syafi’i)
“Dari Nubaisyah
bahwa Rasulullah bersabda”Dahulu aku melarang kalian memakan daging kurban
lebih dari tiga hari, tetapi (sekarang) makanlah dan simpanlah (Hr. Ibnu Majah dan Al-Nasa’i)
Hadis pertama melarang menyimpan daging kurban selama lebih dari
tiga hari. Hal ini kemudian dinasakh oleh hadis kedua. Kata kuntu merupakan fi’Il madhi yang
menunjukkan bahwa larangan menyimpan daging kurban berlaku pada masa lampau.
3.
Al-Tarjih(Pengunggulan)
Jika salah satu hadis yang kontradiktif tidak dapat diketahui
apakah datang lebih dahulu atau belakangan, diaplikasikan, yaitu tarjih. Tarjih
ialah pengunggulan salah satu hadis yang dilihat dari segi sanad, matan, atau
penguat lain. Misalnya, dari segi matan mendahulukan makna hakikat daripada
metafora. Dari segi sanad, Al-Hazimi dalam kitabnya yang berjudul al-I’tibar
menjelaskan ada 50 sanad, Al-iraqi menjelaskan ada 110 sanad, dam al-suyuthi
meringkasnya 7 sanad.
Contoh dua hadis Nabi yang tampak kontradiktif:
“Barangsiapa yang pada waktu
subuh mandi junib, tidak sah puasanya.” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah)
“Nabi pernah mandi junub pada
waktu subuh setelah bersenggama, bukan karena mimpi, yang kemudian berpuasa
ramadhan. (Hr. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah dan Ummu Salamah)
Hadis pertama menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mandi junub
sebelum waktu subuh, tidak sah puasnya. Sebalikanya, hadis kedua menjelaskan
bahwa Nabi pernah mandi junub pada waktu subuh kemudian berpuasa ramadhan.
Kedua hadis ini tidak dapat diketahui hadis mana yang datang lebih dahulu. Oleh
sebab itu, langkah berikutnya adalah tarjih, yaitu mengunggulkan salah satu
hadis yang lebih kuat.
4.
Al-Tawaqquf(penundaan)
Al tawaqquf adalah hadis yang ditunada, dihentikan, di tinggalkan,
atau tidak dapat diamalkan. Hadis ini bermula karena dua hadis yang
kontradiktif tidak dapat dikompromikan, tidak dapat dinasakh, dan tidak dapat
ditarjih. Oleh sebab itu, alternative terakhir adalah ditunda, dihentikan,
ditinggalkan atau tidak diamalkan.
Hadis mutawaqqaf fih ini kasusnya hampir sama dengan mudhtharib
yaitu dua gadis yang kontradiktif dan tidak dapat ditarjih. Akan tetapi, hadis
madhtharib lebih umum daripada hadis mutawaqqaf fih. Hal itu karena hadis
mudhtharib dapat terjadi pada sanad dan matan. Sekaligus dapat terjadi pada
hadis sahih, hasan dan dhaif.
G.
Ilmu ‘Ilal
Hadist
Kata ‘ialal merupakan bentuk jamak
dari ‘illah, secara bahasa berarti penyakit. Menurut terminologi ulama hadist,
‘illah adalah sebab tersembunyi yang menyebabkan cacat suatu hadist yang secara
lahiriyah tampak selamat. Cara mengetahui cacatnya suatu hadist adalah dengan
menghimpun semua sanad yang berkaitan dengan hadist yang diteliti untuk
mengetahui apakah hadist yang bersangkutan memili tawabi’ atau syawahid atau
tidak. Kemudian seluruh rangkaian dan kualitas periwayat dalam sanad itu
diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat hadist dan ‘illat hadist.
Para ulama hadist sangat
memperhatikan ilmu ‘ilal al hadist, mereka berusaha menyeleksi sanad hadist,
mengadakan pertemuan ulama dan berdialog serta mendengarkan pendapat
mereka. Semua yang dilakukan ini
dilakukan untuk membedakan antara hadist shohih dan dha’if, yang tidak
mengandung cacat, kejanggala.
Para ulama banyak menulis kitab
tentang hal ini seperti contohnnya kitab al-tarikh wa al-‘ilal karya Yahya Ibn
Ma’in, kitab ‘Ilal al-hadist karya Ahmad Ibn Hanbal, kitab al-musnad
al-mu’allal karya YA’qub ibn Syaybah.
[1] Mahmud L-tahhan, Taysir
Mustalah al-hadis (Beirut: Dar Al-Qur’an al karim, 1979 M), 224
[2] Sabhi al salih, Ulum al-hadis wa mustalahuh (Beirut: Dar
al-Ilm li al Malayin, 1988 M), 110
[3] Muhammad ‘Ajjaj
al-khatib, Usul al-hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut : Dar Al-Fikr, 1989),
253
[4] Ibid
[5] Muhammad ‘Ajjaj
al-khatib, usul al-Hadist, 280
[6] Ibid., 281
[7] Mahmud al-Tahhan,
Taysir, 225
Komentar
Posting Komentar