TOKOH-TOKOH dan
SEJARAH THARIQAH
1.
Thariqah Qadariyah
Tharekat yang didirikan oleh Wali Agung Syaikh ‘Abdul Qadir
al-Jailani. Nama lengkapnya Sayid Abu Muhammad ‘Abdul Qadir
al-Jailani’ putra dari Abu Shaleh Musa Jangki Dausat bin Abdullah. Ayahnya
merupakan keturunan Imam Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib
yang juga putra Fathimah az-Zahra binti Rasulullah.
Dilahirhan pada tahun 471 H di daerah Jilan yaitu pedesaan yang
terletak di daerah Thabaristan. Pada waktu kecil ia tidak mau menyusu pada
ibunya di siang hari pada bulan Ramadhan. Ketika berusia remaja ia mengembara
untuk menuntut ilmu Fikih kepada beberapa orang guru. Di antaranya Syaikh Abu
Wafa Ali bin ‘Aqil’, Abu Khatabah al-Kalwadzani, dan lainnya. Ia belajar ilmu
Adab pada Syaikh Abi Zakariya Yahya bin ‘Ali ath-Thibrizi dan berguru ilmu
tarekat kepada Waliyullah Syaikh Khair Hamad bin Muslim ad-Dabbas. Sedang madat
tasawuf ia terima dari tangan Abu Sa’id al-Mubarak.
Ia mengasingkan diri selama 25 tahun. Berjalan menyusuri pegunungan
Irak dan desa yang tak berpenduduk. Dalam perjalanannya itu, ia tak mengenali
orang dan orang juga tak mengenalinya. Pada suatu hari ia bertemu dengan
seseorang yang memberinya uang karena merasa kasihan kepadanya. Ia terima
pemberian tersebut lalu dibelikan roti. Kemudian ia memakan roti
tersebut.tiba-tiba ada selembar kertas melayang dan berhenti tepat di sisinya.
Di kertas itu tertulis pesan, “Syahwat hanya dibuat bagi hamba yang lemah
sebagai bekal untuk taat beribadah. Sedangkan hamba yang kuat, tidak memiliki
syahwat.” Selesai membaca pesan, ia langsung meninggalkan makanannya. Kemudian
berdiri menghadap kiblat, takbir, dan shalat dua rakaat lalu pergi.
Pada saat pertama memasuki Irak, ia bertemu dengan
Nabi Khidir AS. Namun, ia tidak mengenalinya. Lalu Nabi Khidir AS menyuruhnya
seupaya tidak melanggar perintahnya. Nabi Khidir berkata ”Duduklah di sini dan
jangan tinggalkan tempat dudukmu sampai aku suruh”. Lalu ia duduk di tempat
tersebut selama 3 tahun lamanya. Setiap tahun Nabi Khidir AS mendatanginya dan
memberikan perintah yang sama.
Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani berguru tarekat pada Aba Sa’id
al-Mubarak dari Abu Hasan al-Hakkari dari Abu al-Farah ath Thurtusi dari Abdul
Wahid at-Tamimi dari Abu Bakar asy-Syibli dari Imam Abu Al-Qasim al-Junaid
al-Baghdadi dari Imam as-Sari as-Saqathi dari Imam Ma’ruf al-Karkhi dari Sayyid
Ali bin ar-Ridha dari ayahnya Sayyid Ja’far ash-Shadiq dari ayahnnya Sayyid
Muhammad al-Baqir dari ayahnya Sayyid Ali Zainal Abidin dari ayahnya Sayyid
Husain dari ayahnya Sayyidina Ali Bin Abu Thalib k.w. dari Rasulullah SAW.
Di antara akhlak Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani adalah setiap kali berhadas, maka segera mengambil wudhu
lalu shalat dua rakaat. Karena itu, ia tak pernah duduk dalam keadaan berhadas.
Ia selalu bersunggih-sungguh dalam ibadah sehingga di buka oleh Allah Hal-nya
karena itu, ia mengungguli semua orang dari zamannya dalam bidang ilmu, amal,
zuhud, makrifat, wara’, kepemimpinan dan kemasyarakatan yang demikian
membuatnya terkenal pada masa itu.
Syaih Abdul Qadir al-Jailani berkata, “pada suatu hari aku melihat
seberkas cahaya yang sangat terang yang yang meninari penjuru langit. Cahaya
itu kemudian berubah bentuknya lalu berseru kepadakau, ‘Wahai ‘Abdul Qadir, aku
ini adalah tuhanmu. Sungguh aku halalkan barang-barang yang haram untukmu’.”
“Maka aku katakan, ‘Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan
yang terkutuk. Celakalah engkau, wahai yang terlaknat’. Tiba-tiba cahaya itu
menghilang lalu berubah menjadi asap, lalu menjerit seraya berkata, ‘Wahai
‘Abdul Qadir, engkau telah selamat dari godaanku sebab ilmu akidah dan ilmu
syariahmu. Sebelumnya, aku telah menyesatkan 70 orang dengan cara seperti ini’.”
Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani mengucapkan “Alhamdulillah”
ketika di Tanya, “Bagaimana engkau mengetahui yang menggodamu itu adalah
syaitan?” ia menjawab, “Aku mengetahu dari kata-katanya ‘Sungguh aku halalkan
barang-barang yang haram untukmu’. Karena aku mengetahui bahwa Allah tidak akan
menyuruh untuk berbuat keburukan.”
Syaikh ‘Abdul Qadir al-jailani menguasai tiga belas macam disiplin
ilmu seperti tafsir, hadis, fikih, usul, nahwu, ilmu Al-Qur’an dan
lain-lainnya. Ia mengeluarkan fatwa berdasarkan madzhab Imam Syafi’I dan Imam
Hambali. Di antara karamahnya adalah lalat tak pernah hinggap pada bajunya.
Karamah seperti ini merupakan warisan yang berasal dari kakeknya, Rasulullah
SAW ketika di Tanya mengenai hal tersebut, ia menjawab “Untuk apa lalat hinggap
dibajuku, sementara aku tak memiliki gula dunia dan madu akhirat.”
Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Telapak kakiku ini
berada di atas tengkuk (leher belakang) setiap wali”. Pada saat Syaikh
mengatakan yang demikian, tidak ada seorang walipun di seantero dunia ini
melainkan sama-sama menundukkan kepala. Hanya seorang wali di daerah Ishfihan
yang tidak menundukkan kepala kepada Syaikh Abdul Qadir sehingga dicabut
kewaliannya.
Menurut Syekh Abdul Qadir, manusia di bagi
menjadi 4, yaitu:
1. Orang-orang yang tidak punya hati dan lidah.
Mereka ini ialah masyarakat yang tidak peduli dengan kebenaran dan keutamaan,
hanya tunduk pada indra fisik.
2. Orang yang punya lidah tapi tidak berhati.
Ialah mereka yang menganjurkan kebaikan tapi mereka sendiri tidak berbuat
demikian.
3. Mereka yang mempunyai hati tapi tidak
berlidah. Yaitu mereka yang selalu berusaha untuk memperbaiki diri karena sadar
akan kelemahannya.
4. Orang yang memiliki hati dan juga lidah. Ialah
mereka yang mendapatkan pengetahuan sejati. Mereka ini adalah kelompok
tertinggi setelah kelompok para Nabi.[1]
Syaikh Abdul Qadir wafat pada tanggal 11
Rabiuts Tsani tahun 561 Hijriyah pada usia 91 tahun dan di kebumikan di
Baghdad. Makamnya banyak dikunjungi para
peziarah dari berbagai pelosok negri.[2]
2.
Thariqah Syadzaliyah
Tarekat yang pendirinya dinisbatkan kepada Imam Abul Hasan ‘Ali
asy-Syadzilli al-Hasni. Asy-Syadzli merupakan keturunan dari Rasulullah SAW
dari jalur Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Nama lengkapnya adalah Imam Abul Hasan
‘Ali asy-Syadzili putra dari ‘Abdullah putra ‘Abdul Jabbar bin Tammim bin Humuz
bin Hatim bin Qudai bin Yusuf bin Yusya bin Wird bin Abi Baththal’ Ali bin
Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa bin Idris bin’Umar bin Idris Ibnu Abdillah bin
Hasan al-Mutsanna bin Sayyid Hasan as-Sibthi bin’Ali bin Abi Thalib k.w. Ibnu
Fathimah binti Rasulullah SAW.
Asy-Syadziili tumbuh dewasa di desanya dan sibuk dalam menuntut
ilmu agama sampai memahaminya. Kemudian meniti ilmu tasawuf dengan
sungguh-sungguh sehingga ia muncul dan khabarnya terdengar sampai ke daerah
lain. Begitu hebatnya, jika ia berpergian dan menaiki kendaraan, maka para
pengikut-pengikutnya mengelilinginya mulai dari orang-orang sufi sampai para
pembesar. Di atas kendaraannya dikibarkan bendara dan tabuhan gendrang yang
mengiringi perjalanannya. Di antara rombongan yang berseru “Barangsiapa yang ingin
bertemu dengan Wali Quthub Qhauts, maka inilah Imam asy-Syadzili.”
Imam asy-Syadzili memperoleh mandat (ijazah) tasawuf dari dua orang
guru. Yang pertama dari Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Abu al-Hasan ‘Ali yang
dikenal dengan nama Ibnu Harazim. Yang kedua dari ‘Abdillah’ Abdus Salam bin
Masyisy yang merupakan seorang guru yang sangat disegani.
Imam asy-Syadzili memiliki sanad lain yaitu dari Abdus Salam bin
Masyisy dari Abdurrahman al-Madani az-Zayyat dari Syuaib Abu Madyan dari Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani dari Sa’id al-Mubarak dari Hasan ali dari Yusuf dari Abu
Faraj ath-Thurthusi dari Abu al-Fadhal Abdul Wahab at-Tamimi dari Abi Jahdar
asy-Syibili dari Abu Qasim al-Junaid al-Bagdadi sampai ke Rasulullah SAW.
Beliau mencapai maqam “al-Fardaniyah” yang merupakan satu
maqam yang dalam satu masa tak boleh ada dua orang yang mendudukinya di dunia.
Hal tersebut telah disepakati oleh orang-orang di masanya. Ia diperintah di
depan para wali besar untuk mengatakan “Kakiku di atas keing semua wali.” Ia mengatakan
kata-kata tersebut tanpa disertai rasa sombong sedikitpun.
Suatu ketika ia ditanya siapa gurunya? Ia menjawab. “ Dulu guruku
adalah Abdus Salam bin Masyisy.’ Sekarang aku menimba ilmu dari sepuluh macam
samudra yaitu lima saudra di langit dan lima samudra di bumi. Lima samudra dari
langit Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, dan Ruh. Sedangkan lima samudra di bumi
yaitu Abu bakar, ‘Umar’, ‘Usman, ‘Ali dan Nabi SAW”. Para ulama besar di masa
itu mengaji kepada Imam asy-Syadzili seperti Izzudin Ibnu Abdis Salam,
Taqiyuddin Ibnu Daqiqi al-id, Abdul Azim al-Mundziri, Ibnu Shalah, Ibnu
al-Hajib, Jamaludin Ushfur, Nabihuddin bin Auf. Mereka ini adalah ulama besar
yang mendunia pada masa itu.
Di antara karamahnya adalah bahwa ada sebagian ulama yang mengkritik
hizib al-bahar, ia menjawab, “Demi Allah, aku menulis Hizib tersebut
langsung dari lisan Rasulullah SAW huruf demi huruf.” Ia juga berkata,
“Sekiranya tidak takut bertentangan dengan syariat, tentulah aku akan
menceritakan sesuatu yang akan terjadi esok, lusa sampai hari kiamat.” Ia juga
berkata, “Ilmu di hati itu sama dengan dirham dan dinar di tangan. Kadang
bermanfaat bagimu, kadang menimbulkan bahaya.”
‘Imaduddin Qadhi
mengisahkan, ada seorang perempuan dari Iskandariah yang semasa hidupnya banyak
melakukan dosa. Perempuan itu telah meninggal dunia. Pada suatu hari ada
seorang bermimpi melihatnya dalam keadaan baik-baik saja. Perempuan itu
ditanya, “Bagaimana keadaanmu?” perempuan itu menjawab. “Imam asy-Syadzili
sekarang ini telah wafat dan dikebumikan di Humaisyarah (Mesir). Allah
mengampuni semua orang yang meninggal di dunia dari Timur sampai Barat karena
mendapat keberkahan Imam asy-Syadzili. Dan aku termasuk orang yang diampuni
Allah karena keberkahannya.”
Mimpi tersebut terjadi ketika ‘Imaduddin Qadhi menunaikan ibadah
haji. Ketika jamaah haji datang mereka membawa kabar mengenai wafatnya Imam
asy-Syadzili. Ternyata kejadian dalam mimpi tersebut sesuai dengan tanggal
wafatnya Imam asy-Syadzili yang wafat pada bulan Syawal tahun 656 Hijriyah pada
usia 63 tahun.[3]
3.
Thariqah Naqsyabandiyah
Tarekat yang pendirinya dinisbatkatkan kepada wali quthub bernama
Muhammad Baha’uddin bin Muhammad bin Muhammad al-Syarif al-Husaini al-Hasani
al-Uwaissi al-Bukhari. Lebih dikenal dengan sebutan Syaikh an-Naqsyabandi.
Syaikh an-Naqsyabandi berguru ilmu tarekat kepada Syaikh Muhamad Baba as-Samasi
kemudian kepada Sayid Amir Kulal.
Syaikh an-Naqsyabandi lahir di desa Qasrul Arifan di dekay
Bukhar(Uzbekistan) pada bulan Muharram tahun 717 Hijriyah. Sebelum di lahirkan,
gurunya, Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi, telah mengisyaratkan akan
kelahirannya. Setiap kali Syaikh as-Sammasi melewati desa Qasrul Arifin, selalu
berkata pada uridnya “Dari desa ini aku mencium bau seorang wali.”
Setelah bayi yang dimaksudkan dilahirkan dan berusia tiga hari,
Syaikh as-Sammasi melewati desa itu seperti biasa. Lalu kembali berkata pada
muridnya, “Bau seorang wali yang telah aku ceritakan, sekarang ini semakin
semerbak.”
Tak lama setelah itu, si bayi oleh kakeknya dibawa ke rumah syaikh as-Sammasi.
Ketika melihat bayi tersebut, syaikh as-Sammasi spontan berterian gembira
seraya menoleh kepada muridnya, “Ini anakku’. Inilah wali yang selama ini aku
cium banunya. Insya Allah tidak lama lagi ia akan menjadi panutan banyak
orang.”
Kemudian Syaikh as-sammasi menemui Sayyid Amir Kulal untuk
menyerahkan pendidikan “anaknya” itu. didiklah dengan sebaik-baiknya. Jangan
sampai engkau teledor, aku tak akan rela untuk selama-lamanya.” Lalu Sayid Amir
Kulal berdiri dan berkata, ”Aku akan melaksanakan perintahmu. Insya Allah aku
tidak akan teledor dalam mendidiknya.”
Syaikh an-Naqsabandi mengisahkan “Kakekku mengirimku ke desa Sammas
dengan tujuan supaya aku mengabdi kepada Syaikh as-Sammasi. Ketika aku berhasil
menemuinya, sebelum waktu Maghrib tiba aku telah mendapat keberkahannya
sehingga aku merasakan ketenangan pada diriku, ke-Khusyu’-an, tadharru’
serta kembali kepada Allah.” Lebih lanjut Syaikh an-Naqsabandi berkata,
“ketika syaikh as-sammasi meninggal dunia, kakekku embawaku ke Samarqand.
Setiap kali mendengar ada orang saleh, ia membawaku kepadanya. Kepada orang
saleh yang dikunjungi, ia meminta doa untukku. Ternyata permintaan doa
terkabul. Aku mendapat keberkahan dari orang-orang saleh tersebut.”
Syaikh an-Naqsyabandi juga berkata,”Di antara pertolongan Allah
yang diberikan kepadaku adalah kopiah kakek guruku (Syaikh al-Azizan) telah
sampai kepadaku sehingga keadaanku semakin baik dan harapanku semakin kuat.
Yang demikian itu membuatku dapat mengabdi kepada Sayyid ‘Amar Kulal’ dan
memberitahuku bahwa Syaikh as-Sammasi mewasiatkan diriku kepadanya.”
Di antara akhlak Syaikh
an-Naqsyabandi adalah apabila menjenguk salah seorang temannya, pasti akan
menanyakan kabar keluarga dan anak-anaknya serta menghiburnya dengan hiburan
yang sepantasnya. Bukan hanya itu saja, Syaikh an-Naqsyabandi juga menanyakan
apa yang berhubungan dengannya sampai bertanya tentang ayam-ayam peliharaannya.
Ditampakkannya rasa belas kasihan kepada semua seraya berkata, “Abu Yazid
al-Busthami sekembalinya dari laut berdzikir, melakukan hal seperti ini.”
Meski sangat sempurna dalam kezuhudannya, syaikh an-Naqsyabandi
senantiasa memberi dan mendahulukan orang lain. Bila ada orang memberinya,
diterimanya. Lalu membalasnya dengan pemberian yang berlipat ganda. Demikian
itu karena Syaikh an-Naqsyabandi mengikuti jejak Rasulullah SAW yang sangat
terkenal kedermawanannya. Keberkahan akhlaknya yang mulia menular kepada
murid-muridnya.
Di antara karamahnya adalah sebagaimana yang telah disampaikan oleh
Syaikh Ala uddin al-Anthar. Suatu ketika Syaikh Ala Uddin al-Anthar bersama
dengan Syaikh an-Naqsyabandi. Ketika itu udara diliputi oleh mendung. Lalu
Syaikh an-Naqsyabandi bertanya, “Apa waktu dhuhur sudah masuk?” syeikh Ala
uddin al-Aththar menjawab “belum”. Lalu syaikh an-Naqsyabandi berkata
”keluarlah dan lihatlah langit.”
Lalu Syaikh ala uddin al-Aththar keluar dan melihat ke atas langit.
Tiba-tiba tersingkaplah hijab alam langit sehingga Syaikh Ala Uddin al-Aththar
dapat melihat seluruh malaikat di langit tengah melaksanakan shalat Dhuhur,
lalu Syaikh Ala Uddin al-Aththar masuk dan langsung ditanya oleh Syaikh
an_Naqsyabandi, “Bagaimana pendapatmu, bukankah waktu dhuhur tiba?”
Syaikh ala uddin al-Aththar malu dibuatnya dan membaca istigfar dan
sampai beberapa hari merasa masih terbebani dengan kejadian tersebut. Syaikh
Ala uddin al-Aththar berkata, “ketika Syaikh an-Naqsyabandi akan meninggal, aku
dan yang hadir pada saat itu membaca surah Yasin. Ketika bacaan surah Yasin
sampai di tengah-tengah, tiba-tiba tampak seberkas cahaya terang yang menyinari
seisi ruangan. Maka aku membaca kalimat La ilaha ila Allah, lalu Syaikh
an-Naqsyabandi wafat.”
Syaikh An-Naqsyabandi wafat pada malam Senin tanggal 3 Rabi’ul Awal
tahun 791 Hijriyah. Kemudian dimakamkan di kebun miliknya yang memang sudah
ditentukan oleh Syaik an-Naqsyabandi sendiri. Para pengikutnya membangun kubah
di atas makamnya dan di kebunnya dibangun masjid yang luas.[4]
4.
Thariqah Samaniyah
Tarekat yang pendiriannya dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad bin
Abdul Karim as-Sammani al-Madani. Di lahirkan di Madani pada tahun 1132
Hijriyah dari keluarga Quraisy. Di kalangan murid-muridnya, lebih dikenal
dengan sebutan as-Sammani.
Syaikh as-Sammani belajat hukum islam kepada seorang ulama fikih
terkenal yaitu Syaikh Muhammad ad-Daqqaq, Sayid Al-Aththar, Ali al-Kurdi, Abdul
Wahab ant-Thanthawi dan Sa’id Hilal al-Makki. Kemudian belajar ilmu Hadis
kepada Muhammad Hayat. Selain itu, juga berguru disiplin ilmu-ilmu keislaman
lainnya kepada Muhammad Sulaiman al-kurdi, Abu Thahir al-Kurani, dan Abdullah al-Bashri.
Adapun sanad tarekatnya adalah sebagai berikut. Ia berguru kepada
Syaikh Mahmud al-Kurdi dari Hifni dari Sayyid usthafa Al-Bakri dari Sayyid
Abdul Latif al-Khalwati dari Sayyid Musthafa Afandi ath-Thabrani dari Ali
Afandi dari Qirabasya dari Sayyid Isma’il al-Jari dari Sayyid Umar al-Fua’di
dari Sayyid Muhyiddin al-Qasthamuni dari Sayyid Khairuddin an-Naqqadi dari
Sayid Jamal al-Khalwati dari Sayyid Baha’Uddin asy-Syarwani dari Sayyid Yahya
al-Bakubi dari Sayyid Shaharuddin al-Jayyani dari Sayyid Izzudin.
Syaikh as-Sammani sangat produktif mengarang kitab di antara
adalah: Ighatsah al-Luhafan wa Mu’anasah al-walahan, al-Insan al-Kamil,
Tuhfah al-Salik fi Kaifiyah Suluk lil-Malik, Tuhfah al-Qaum fi Muhammat
al-Ra’ya wal Naum, Jalaliyah al-Karab wa Munilah al-Arab, Al-Futuhat
al-Ilajiyah fi at-Tawajuhhat al Ruhiyah lil-Hadarah al-Muhammadiyah dan
lainnya.
Syaikh as-Sammani terkenal sebagai seorang tokoh tarekat yang
menjalani kehidupan zuhud dan kesalehan. Sejak masih anak-anak menunjukkan
hal-hal yang aneh dalam perilakunya. Suatu ketika orang tuanya menghidangkan
makanan untuknya, beberapa saat kemudian orang tuanya membuka tutup saji
makanan. Ternyata makanannya masih utuh. Kejadian tersebut berulang beberapa
kali sehingga membuat orang tuanya cemas. Akhirnya orang tuanya melaporkan
kejadian tersebut kepada guru yang mendidik anaknya. Sang guru berkata, “Jangan
Khawatir, anakmu akan menjadi seorang wali.”
Keanehan lainnya, jika tidur di bantal yang empuk ia selalu
berkeluh kesah seperti orang sakit. Dan ketika orang tuanya tidur pulas, ia
bangun di tengah malam, mengambil air wudhu lalu shalat sampai menjelang waktu
Subuh. Syaikh as-Sammani wafat pada usia 57 tahun kemudian di makamkan di
Baqi’, Madinah.[5]
5.
Thariqah
Tijaniyah
Tarekat yang pendiriannya dinisbatkan kepada wali besar Sayid Ahmad
at-Tijani atau lebih dikenal dengan julukan Ibnu Umar. Nasab at-Tijani
bersambung kepada Rasulullah SAW dari jalur Hasan al-Mutsanna bin Hasan
as-Sibhthi bin Ali bin Abi Thalib dari Sayidah Fathimah az-Zahra putri baginda
Rasulullah SAW.
At-Tijani dilahirkan di desa ‘Ainu Madhi’ pada tahun 1150 H. pada
usia 7 tahun telah hafal Al-Qur’an dengan baik atas bimbingan seorang guru
bernama Muhammad bin Hamawi. Kemudian mempelajari berbagai disiplin ilmu agama
sampai di setiap bidangnya. Kemudian, at-Tijani mempelajari kitab Mukhtashar
karya Syaikh al-Khalil, kitab ar-Risalah dan kitab Muqaddimah karya
Ibnu Rusyd juga kitab Muqaddimah karya al-Akhdhari kepada Syaikh Ibnu
Bu’afiyah.
At-Tijani menghabiskan waktu yang lama untuk mencari ilmu sehingga
betul-betul menjadi seorang yang sangat alim. Terbukti setiap kali ada orang
yang bertanya, langsung dijawab dengan tuntas layaknya ada buku di depannya.
Kedua orang tuanya meninggal karena menderita panyakit Tha’un. Namun
yang demikian itu tidak membuatnya berhenti menimba ilmu ataupun mengajar
hingga usianya mencapai 21 tahun. Kemudian pergi ke kota di sekitar Fez.
Kepergiannya ke kota tersebut karena mendengar hadist Rasulullah SAW.
Setibanya di kota Fez, at-Tijani bertemu dan berguru kepada Sayid
Abu Muhammad ath-Thayib (al-wani). Selain itu juga berguru kepada wali
quthub bernama Ahmad ash-Shaqali dan Muhammad al-wanjali yang terkenal
sebagai seorang waliyullah yang memiliki pandangan batin yang sangat tajam.
Ketika at-Tijani baru pertama kali bertemu, al-Wanjali langsung berkata, “Wahai
Ahmad at-Tijani, engkau pasti bisa mencapai maqam Imam asy-Syadzili.” Lalu
al-Wanjali menyampaikan apa yang tersirat dalam hatinya.
Selain itu, at-Tijani bertemu dengan seorang waliyullah yang
bernama ‘Abdullah Ibnul ‘Arabi al-andalusi. Saat bertemu dengan ibnul Arabi
al-Andalusi. Saat bertemu dengan Ibnul Arabi, at-Tijani mengutarakan masalah
dirinya, “Allah akan menuntunmu, Allah akan menuntunmu, Allah akan menuntunmu”
kata Ibnul Arabi memberi dorongan.
At-Tijani pergi ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji
dan berziarah ke makam Rasulullah SAW. Ketika sampai di desa Azwawi, at-Tijani
mendengar akan adanya seorang guru tarekat Khalwatiyah yang bernama Sayid Abi
Abdillah al-Azhari. Maka at-Tijani singgah di desa tersebut untuk berguru tarekat Khalwatiyah
kepada al-Azhari.
Sampainya di Kairo(Mesir) at-Tijani menemui seorang wali besar
yaitu Syaikh Mahmud al-Kurdi. Ketika itu al-Kurdi berkata, “Engkau ini dicintai
Allah di Dunia dan di akhirat.”
“dari mana engkau mengetahuinya?” Tanya at-Tijani
“Dari Allah” jawab al-Kurdi. Selang beberapa hari kemudian,
al-Kurdi bertanya lagi, “apa yang engkau cari?”
“Pangkat Quthub” jawab at-Tijani
“Engkau akan mendapatkan lebih dari itu” jawab al-Kurdi
Di Makkah at-Tijani mengambil ilmu Asrar dan karamah dari
syaikh Abi al-Abbas Muhammad al-Hindi tanpa bertemu muka dengannya, melainkan
hanya dengan mengirim surat melalui perantara muridnya. Dalam suratnya al-Hindi
menulis, “Engkau adalah pewaris ilmuku dan asrarku”. Dalam surat juga
disebutkan bahwa at-Tijani akan mencapai Maqam Syaikh Abi al-Hasan
asy-Syadzili.
Di Madinah at-Tijani bertemu dengan wali quthub bernama Muhammad
bin Abd Karim as-Samman pendiri tarekat Samaniyah yang telah mencapai maqam Alqutbu
Aljami. Imam as-Samman berkata “Mintalah apa yang engkau kehendaki.” Maka
at-Tijani minta beberapa perkara darinya dan Imam as-Samman membantunya untuk
itu.
At-tijani diberi ijazah tarekat Khalwatiyah serta sanadnya yaitu:
Syaikh Mahmud al-Kurdi dari Hifni dari Sayyid Mustofa al-Bakri dari Sayyid
Abdul Latif al-Khalwati dari Sayyid Musthafa Afandi ath-Thabrani dari Ali
Afandi dari Qirabasya dari Sayyid Ismail al-Jarmi’ dari Sayyid Umar al-Fua dari
Sayyid Muhyiddin al-Qasthamuni dari Sayyid Sya’ban Affandi al-Qasthamuni dari
Sayyid Khairuddin an-Naqqadi dari Sayyid Jamal al-Khalwati dari Sayyid
Baha’Uddin asy-Syarwani dari Sayyid Yahya al-Bakubi dari Sayyid Shahruddin
al-Jayyani dari Sayyid Izzuddin.
Syaikh Ahmad at-Tijani mampu bertemu langsung dengan Rasulullah SAW
dalam keadaan sadar dan Rasulullah SAW menjadikannya sebagai murid dan
memberinya izin multaqin orang-orang. Di bulan Muharram 1214 H at-Tijani
mencapai pangkat wali quthub daan pada tanggal 18 Safar 1214 H mencapai
pangkat Alkhatm wal katm.
Mengenai karamahnya sangat banya. Di antaranya, perjalanan yang
jaug dapat ditempuhnya dengan singkat. Karamah seperti ini sering
ditampakkannya. Banyak muridnya yang menyaksikan bahwa at-Tijani berkata,
“Kedua kakiku ini di atas tengkuk semua wali dari masa Nabi Adam AS sampai hari
kiamat.”
At-Tijani wafat pada hari Kamis 17 Syawal 1230 H seusai
melaksanakan shalat Shubuh. Sedangkan yang menghadiri jenazahnya adalah
orang-orang yang tak terhitung jumlahnya baik dari kalangan ulama, umara maupun
kalangan lainnya. Semua berebut membawa peti jeanazahnya. Kayu keranda yang
dibuat membawa peti jenazahnya mereka potong kecil-kecil kemudian
dibagi-bagikan. Potongan kayu tersebut mereka simpan sebagai tanda keberkahan.[6]
[2] Kh. Muntasyar Hasyim, dkk. Manaqib Para Pendiri Thariqah
al-Mu’tabarah. Sidogiri: Penerbit Cipta Pusaka, 2007. Hlm: 19-24
[3] Kh. Muntasyar Hasyim, dkk. Manaqib Para Pendiri Thariqah
al-Mu’tabarah. Sidogiri: Penerbit Cipta Pusaka, 2007. Hlm: 38-42
[4] Kh. Muntasyar Hasyim, dkk. Manaqib Para Pendiri Thariqah
al-Mu’tabarah. Sidogiri: Penerbit Cipta Pusaka, 2007. Hlm: 54-59
[5] Kh. Muntasyar Hasyim, dkk. Manaqib Para Pendiri Thariqah
al-Mu’tabarah. Sidogiri: Penerbit Cipta Pusaka, 2007. Hlm: 81-83
[6] Kh. Muntasyar Hasyim, dkk. Manaqib Para Pendiri Thariqah
al-Mu’tabarah. Sidogiri: Penerbit Cipta Pusaka, 2007. Hlm: 88-93
Dari macam2 toriqoh yg disebutkan apa semuanya ada dan berkembang di kawasan nusantara? Mohon jawabannya...
BalasHapus